Wisatawan seharusnya tidak menjadi ”penjajah” alam, tetapi mitra setia yang selalu menjalin hubungan yang adil dan harmonis dengan alam.
Adalah ekokritisisme, sebuah pendekatan yang bermula di bidang sastra yang akhirnya berperan sebagai detektif lingkungan di berbagai bidang lainnya. Lawrence Buell dalam bukunya, The Environmental Imagination (1995), membagi pemikirannya jadi empat pilar.
Pertama, alam bukan latar belakang pasif, melainkan aktor utama dalam sejarah peradaban kita. Kedua, alam punya hak sendiri, bukan sekadar alat kepentingan manusia.
BACA JUGA:Banjir Besar Bali Telan Korban Jiwa, Pemerintah Tetapkan Status Darurat
BACA JUGA:Banjir dan Longsor Terjang Tujuh Wilayah di Bali, 14 Orang Warga Meninggal
Ketiga, kita punya tanggung jawab etis untuk menjaga keseimbangan dan harmoni dengan alam. Keempat, alam selalu berubah sehingga kita harus adaptif, bukan kaku.
Pilar-pilar itu sejalan dengan ekotraveling, yakni bepergian yang tidak hanya melestarikan ekosistem, tapi juga mengangkat kesejahteraan lokal dan membangun ikatan spiritual dengan alam.
Di Bali, prinsip itu sesuai dengan Tri Hita Karana yang mengingatkan kita bahwa manusia, alam, dan yang Ilahi harus saling menghormati.
BACA JUGA:Banjir Denpasar Disorot Media Asing, Pariwisata Bali Jadi Taruhan
BACA JUGA:Cegah Banjir, Gubernur Banten dan Wali Kota Susur Kali Ungke
Sekarang mari kita melihat lebih detail melalui lensa ekokritisisme pascakolonial, yang menyoroti bahwa kolonisasi terhadap alam sekaligus merupakan penjajahan terhadap manusianya.
Dalam Slow Violence and the Environmentalism of the Poor (2013), Rob Nixon memperkenalkan istilah slow violence untuk menggambarkan kerusakan lingkungan dan sosial yang terjadi secara bertahap, sering kali tidak terlihat langsung, dan memengaruhi komunitas yang rentan, terutama di negara-negara pascakolonial.
Berbeda dengan bencana dramatis seperti gempa bumi, slow violence merujuk pada kerusakan yang lambat seperti polusi, deforestasi, atau penggusuran tanah adat, yang dampaknya baru terasa dalam jangka panjang.
Dalam konteks pariwisata Bali, slow violence itu terlihat dari pembangunan dan perilaku wisatawan yang memperburuk kerentanan ekologis dan sosial, puncaknya terjadi banjir. Wisatawan memandang Bali sebagai ”eksotisme” untuk dikonsumsi.
Itu merujuk pada pola pikir kolonial yang disebut colonial gaze (pandangan kolonial). Wisatawan memandang Bali sebagai ”surga tropis” atau komoditas eksotis yang bisa dinikmati tanpa memedulikan dampaknya.
Pantai Bali, misalnya, sering dipromosikan sebagai latar belakang estetis untuk foto atau liburan mewah, tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem atau masyarakat lokal dengan masifnya pembangunan resor tepi pantai.