Sikap itu mencerminkan warisan kolonial, yakni alam hanya dipandang sebagai latar pasif yang inferior untuk dieksploitasi, dikomodifikasi, dan dimonetisasi atas nama devisa.
Pariwisata modern melanjutkan pola kerusakan yang dimulai pada era kolonial. Deforestasi untuk perkebunan Belanda di masa lalu merusak sistem drainase alami, melemahkan ketahanan lingkungan terhadap banjir.
Kini pembangunan hotel-hotel besar –sering kali didanai asing atau elite– menggusur tanah adat seperti sawah atau hutan bakau yang berfungsi sebagai penahan banjir alami.
Penggusuran itu tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mencabut hak masyarakat adat atas tanah mereka, memperdalam ketidakadilan sosial yang berakar dari kolonialisme.
Banjir Bali pada September 2025, yang membawa tumpukan sampah plastik dari kawasan wisata, menjadi simbol nyata dari slow violence. Sampah plastik dari ”pesta wisata” (seperti pesta pantai atau aktivitas turis yang tidak bertanggung jawab) menyumbat drainase, memperparah banjir.
Itu adalah kritik terhadap colonial gaze karena wisatawan yang hanya mengejar kenikmatan sesaat –seperti foto Instagram di Ubud– yang meninggalkan jejak lingkungan berupa sampah dan emisi karbon.
Jejak itu memperburuk kerusakan ekologis yang sudah berlangsung lama seperti hilangnya resapan dan vegetasi penahan air akibat pembangunan.
Ekokritisisme pascakolonial mengusulkan ekotraveling yang dekolonial. Pariwisata seharusnya tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga menghapus warisan kolonial dalam hubungan manusia-alam.
Ekotraveling yang ”dekolonial” berarti wisatawan harus menghormati hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya mereka.
Bukan sekadar ”liburan hijau” yang fokus pada citra berkelanjutan (greenwashing), melainkan pariwisata yang mendukung konservasi berbasis adat, sambil menghormati tradisi lokal seperti ritual Tri Hita Karana.
Upaya itu menggeser wisatawan dari konsumen egois menjadi mitra yang menghargai kedaulatan ekologis dan budaya.
Bagaimana cara memulainya? Pertama, googling sejarah kolonial dan risiko lokal sebelum packing. Dengan cara itu, kita dapat memperoleh informasi mengenai sejarah kerentanan bencana sebuah wilayah.
Kedua, pilih operator wisata bersertifikat yang menghargai konservasi adat, bukan hanya menjual citra green travel sebagai gimmick.
Ketiga, potong jejak karbon dengan transportasi ramah lingkungan, restorasi ekosistem, dan yang terpenting: stop nyampah. Keempat, hormati spiritualitas lokal dengan menghargai ritual dengan tulus. Jadikan perjalanan wisata sebagai dialog dekolonial dengan alam dan masyarakat setempat.
Pada akhirnya, banjir Bali seperti lonceng peringatan dan katalisator harapan untuk pariwisata Indonesia yang ekosentris dan bebas dari pandangan kolonial. Kita hadir sebagai wisatawan, bukan penjajah lingkungan.
Kita hadir sebagai tamu yang menjunjung tinggi etika terhadap tuan rumah dan kediamannya, bukan sebagai penguasa yang dilayani sesuai keinginan kita. (*)