Kurir di Bekasi Dibacok gegara Sistem Bayar: Ada Paket… Bres… Bres…

Senin 29-09-2025,04:33 WIB
Oleh: Djono W. Oesman

Sebagian besar manusia (pria-wanita) punya korteks yang kuat. Rasional, realistis, logis, kalkulatif antara hasil dan risiko, serta dikaitkan dengan pertimbangan sosial (pantas-tidak pantas). Semua itu, sejak awal kejadian, diproses otak dalam satu-dua detik. Maha Besar Allah pencipta segalanya.

Pada orang yang korteksnya tidak kuat atau lemah dalam mengambil keputusan, menghasilkan perintah korteks: lawan. Bahkan, bisa juga: lawan dengan keras. 

Hasil keputusan itulah kemarahan. Bisa wajar, bisa meluap-luap.

Riset menunjukkan bahwa kemarahan dapat membuat kita lebih impulsif dan meremehkan kemungkinan dampak buruk yang bisa terjadi setelahnya. Atau, kalkulasinya tidak akurat.

Riset menunjukkan bahwa semua orang yang marah cenderung mencari seseorang untuk disalahkan. Itu membuat orang yang marah jadi makin marah terhadap orang atau kelompok yang dirasa menyinggung perasaan. Contoh, ada perkelahian, ada pelerai. Si pelerai, karena ingin menghentikan perkelahian, menghardik salah satunya. Terjadilah perkelahian baru.

Apakah marah bermanfaat? Kemarahan  dipandang negatif sepanjang sejarah. Di Romawi kuno, Seneca (filsuf Romawi kuno) menyatakan, kemarahan ”tidak berguna, bahkan untuk perang”. 

Apakah pria lebih pemarah daripada wanita? Jawabnya, sepanjang sejarah manusia, umumnya pria lebih pemarah daripada wanita. Simak uraian berikut ini:

Hasil penelitian neurologi menunjukkan, dimensi pada amigdala pria-wanita sama besar. Dimensi dan volume sama. Namun, dimensi korteks frontal orbital wanita lebih besar daripada pria.

Dari situ disimpulkan, dalam menghadapi suatu kondisi yang tidak memenuhi harapan, pria-wanita bisa sama-sama kecewa. Kadar kecewanya sama atau setara.  

Kekecewaan kemudian diproses di korteks. Lalu korteks memutuskan pilihan. Pada wanita dengan dimensi korteks lebih besar, menghasilkan keputusan: abaikan. Sebaliknya, pada pria: lawan. 

Riset oleh ilmuwan di Southwest Missouri State University, Amerika Serikat (AS), yang menyurvei sekitar 200 pria dan wanita, menunjukkan bahwa wanita sama marahnya dan bertindak atas kemarahan mereka sesering pria. 

Perbedaan utamanya, pria merasa kurang efektif ketika dipaksa untuk menahan amarah. Sementara itu, wanita lebih mampu mengendalikan respons impulsif langsung terhadap kemarahan.

Beberapa pihak berpendapat bahwa perbedaan gender itu berakar pada perbedaan mendasar dalam biologi otak. Pendapat ilmuwan tersebut dikuatkan oleh hasil riset berikut ini:

Sebuah riset oleh suami istri ilmuwan, Ruben dan Raquel Gur, di Fakultas Kedokteran The University of Pennsylvania (Penn), AS, menemukan bahwa meskipun amigdala berukuran sama dan serupa pada pria dan wanita, tapi pada wilayah otak kedua, korteks, berbeda.

Wilayah kedua itu adalah korteks frontal orbital yang berperan dalam pengambilan keputusan, bisa juga disebut pengendali impuls agresif. Korteks wanita jauh lebih besar daripada pria.

Di situ terjawablah pertanyaan soal perbedaan gender dalam reaksi kemarahan. Meski selalu ada deviasi. Ada saja wanita yang lebih pemarah daripada pria. Juga, bergantung motif. Pun, dipengaruhi situasi dan kondisi psikologis orangnya. Riset tersebut bersifat rata-rata. 

Kategori :