Mahfud: ”Meskipun dikatakan Pak Prabowo jumlah korban kecil, cuma 0,0017 persen, tapi ini korban keracunan yang menyangkut kesehatan masyarakat, bahkan bisa menyangkut nyawa orang.”
Ia memberikan ilustrasi begini: Di seluruh dunia ada jutaan pesawat terbang lalu lalang setiap hari. Tiada henti. Dan aman. Tapi, ketika ada satu pesawat jatuh dan ratusan korban mati, seluruh dunia heboh. Diteliti secara intensif.
Mahfud: ”Kecelakaan satu pesawat saja, mungkin tidak sampai 0,001 persen dari jutaan pesawat yang terbang setiap hari. Tapi, ketika kecelakaan, semua orang di dunia ribut. Karena itu menyangkut nyawa, menyangkut kesehatan orang. Ini bukan persoalan angka.”
Dari pernyataan Mahfud, jelas bahwa niat Prabowo menggelar MBG adalah mulia. Di tengah rakyat yang mayoritas hidup miskin dan sangat miskin ini. Tapi, pelaksanaannya ambyar.
Mengapa pelaksanaannya ambyar? Karena mental korupsi orang Indonesia. Mental korupsi bukan cuma dimiliki para pejabat tinggi negara, tapi juga menurun secara struktural sampai ke level kekuasaan kelas bawah. Sudah beranak berakar.
Itu bukan kesimpulan saya. Melainkan, dikutip dari Transparency International Indonesia, 30 Juni 2025, berjudul Program Makan Bergizi Gratis Dikepung Risiko Korupsi Sistemik.
Di situ Transparency International Indonesia (TII) merilis laporan bertajuk Risiko Korupsi di Balik Hidangan Makan Bergizi Gratis. Dianalisis melalui pendekatan Corruption Risk Assessment (CRA).
MBG tidak hanya berisiko gagal implementatif, tetapi juga membuka peluang korupsi sistemik akibat lemahnya tata kelola, juga konflik kepentingan, serta praktik pengadaan barang dan jasa yang tidak akuntabel.
Penyebab korupsi di MBG, pertama, tanpa regulasi. MBG dilaksanakan cuma dengan petunjuk teknis internal. Tanpa peraturan presiden. Sehingga tanpa pijakan hukum.
Kedua, muncul konflik kepentingan. Penunjukan mitra pelaksana satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) dilakukan tanpa mekanisme verifikasi terbuka.
Akibatnya, beberapa yayasan pengelola berafiliasi dengan aktor politik, institusi militer dan kepolisian, serta kelompok kekuasaan tertentu.
TII memberikan contoh, polisi lalu lintas yang tugasnya menjaga keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas malah sibuk terlibat dalam distribusi MBG.
TII: ”Hal ini menciptakan akses preferensial yang merusak prinsip meritokrasi dan netralitas layanan publik.”
Ketiga, MBG adalah pengadaan barang dan jasa (PBJ). Hampir semua korupsi di Indonesia ada di sektor PBJ. Tapi, MBG tidak transparan. Banyak aktivitas pengadaan dilakukan tanpa dokumentasi terbuka dan tidak dilengkapi dengan sistem pengawasan berbasis data.
Ada belasan indikator korupsi MBG yang dipaparkan TII. Jika ditulis di sini semua, bisa membosankan pembaca. Sebab, pembaca tahu bahwa mental masyarakat kita korup. Sudah ada polisi, kejaksaan, ditambah KPK, jumlah korupsi malah tambah banyak. Sangat aneh. Sangat rusak.
Dari laporan TII itu, gampangnya bisa disimpulkan, bagi orang-orang tertentu, MBG adalah proyek korupsi. Uang negara ratusan triliun rupiah itu jadi proyek korupsi.