Konsep Jean-Jacques Rousseau tentang social contract menyatakan bahwa negara ada karena ada kesepakatan rakyat untuk menyerahkan sebagian kebebasan demi perlindungan dan kesejahteraan bersama.
Namun, apa yang terjadi di Indonesia kini justru kebalikannya. Rakyat memberikan segalanya, sedangkan negara kerap mengambil dengan segala caranya.
Singkatnya, masyarakat hidup secara formal sebagai warga negara, tetapi secara faktual seperti warga komunitas mandiri tanpa kuasa. Negara tidak hadir saat rakyat mencari penghidupan, tetapi selalu hadir saat rakyat harus memenuhi perpajakan.
Negara tidak hadir saat rakyat belajar, tetapi segera muncul saat rakyat berbeda pendapat dengan gencar. Negara tidak hadir saat rakyat membutuhkan rasa aman, tetapi hadir dengan represif ketika rakyat bersuara lantang.
Fenomena itu menuntut kita merefleksikan ulang makna kedaulatan. Apakah kedaulatan masih berada di tangan rakyat atau telah direbut secara perlahan oleh elite politik yang berlindung di balik institusi negara?
Pertanyaan itu penting diajukan agar masyarakat tidak berhenti pada sikap pasrah, tetapi mengorganisasi diri sebagai kekuatan kritis. Jika tidak, ”masyarakat tak bernegara” itu hanya akan terus menjadi penonton yang diperas, ditundukkan, dan dilupakan.
MEMBANGUN LANGKAH BERSAMA
Dibutuhkan langkah bersama yang konkret agar kontrak sosial tidak sepenuhnya runtuh.
Pertama, menguatkan kemandirian dan literasi kritis. Masyarakat dapat memperkuat basis ekonomi lokal melalui koperasi, pasar komunitas, dan jaringan barter modern. Langkah itu mengurangi ketergantungan pada mekanisme ekonomi kapitalistik yang sering timpang.
Komunitas bisa mengembangkan sekolah rakyat, kelas daring gratis, hingga homeschooling collective yang berbasis kompetensi nyata, bukan sekadar ijazah.
Literasi politik dan hukum juga penting dilakukan. Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran akan hak-haknya, termasuk memahami mekanisme hukum dan politik.
Dengan begitu, rakyat tidak mudah dimanipulasi oleh aturan atau propaganda kekuasaan. Dari sisi solidaritas sosial. penguatan gotong royong lintas agama, etnis, dan kelas sosial menjadi tameng menghadapi absennya negara. Ketika negara tidak hadir, masyarakat bisa hadir untuk masyarakat lain.
Kedua, mengembalikan kontrak sosial. Pajak harus direformasi, adil, dan proporsional. Beban tidak boleh hanya ditanggung rakyat kecil, sedangkan korporasi besar lolos dengan celah hukum yang kadang sengaja diciptakan.
Transparansi anggaran menjadi kunci. Investasi dalam pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan dasar, harus benar-benar dijamin negara. Bukan sekadar jargon, melainkan implementasi dengan anggaran prioritas.
Suara rakyat harus didengarkan, bukan hanya elite yang memperhatikan diri sendiri. Mekanisme demokrasi partisipatif perlu dihidupkan kembali. Musyawarah warga, public hearing, hingga referendum lokal dapat mempersempit jarak rakyat dengan pengambil kebijakan.
Reduksi kekerasan negara juga signifikan dilakukan. Aparat harus ditempatkan kembali sebagai pelindung, bukan musuh rakyat. Pelatihan hak asasi manusia, reformasi keamanan, dan mekanisme kontrol sipil atas militer/polisi harus diperkuat.