Masyarakat Tak Bernegara: Menilik Ironi Kedaulatan dalam Republik

Selasa 07-10-2025,08:33 WIB
Oleh: Yusuf Ridho

Ketiga, organisasi sosial dan masyarakat sipil harus menjadi jembatan antara rakyat dan negara. LSM, ormas, maupun organisasi keagamaan dapat menjadi pengawas negara. 

Mereka perlu berani bersuara lantang ketika rakyat diperas atau dilukai oleh kebijakan. Organisasi sosial dapat mengisi kekosongan negara dengan menyediakan pendidikan nonformal, layanan kesehatan komunitas, hingga bantuan hukum gratis. 

Partisipasi rakyat juga perlu diorganisasi. Ormas dan komunitas sipil dapat menjadi ruang aman bagi rakyat untuk belajar berdemokrasi, menyampaikan aspirasi, dan menyusun agenda bersama.

Keempat, mendesak adanya sinergi multipihak. Ada upaya membangun negara yang hadir bersama rakyat. Solusi paling efektif tidak mungkin dicapai hanya oleh satu pihak. 

Dibutuhkan kolaborasi, yakni pemerintah mendengar dan melibatkan masyarakat sipil. Akademisi menyediakan riset berbasis data untuk solusi konkret. Media berperan sebagai pengawas publik dan ruang diskusi yang sehat. Masyarakat berperan aktif, tidak sekadar sebagai objek kebijakan.

Jalan keluar dari kondisi stateless society di Indonesia di atas bukan sekadar soal menggugat negara, melainkan juga soal memperkuat masyarakat dan membangun keseimbangan baru antara rakyat, negara, dan organisasi sosial. 

Negara harus kembali pada akar kontrak sosial yang hadir untuk melindungi, bukan menindas. Menopang, bukan menumpang. Sementara itu, masyarakat harus memperkuat solidaritas, kemandirian, dan kesadaran kritis.

Dengan demikian, yang lahir bukan masyarakat tanpa negara, melainkan masyarakat berdaulat yang mampu menuntut, mengawal, sekaligus membangun bersama negara demi masa depan yang adil dan bermartabat. 

Hiduplah Indonesia Raya! (*)

*) Bahrus Surur-Iyunk adalah anggota LPCR-PM PW Muhammadiyah Jawa Timur, penggiat Literasi Sahabat Pena Kita (SPK), dan ketua Lembaga Kajian islam dan Madura (LKiM).

 

 

Kategori :