Teori agenda-setting yang dirumuskan Maxwell McCombs dan Donald Shaw menekankan, media –dan dalam hal ini pidato politik– bukan hanya memberi tahu rakyat tentang apa yang harus dipikirkan, tetapi juga tentang apa yang sebaiknya tidak dipikirkan.
Dengan kata lain, ada seleksi ketat atas isu-isu mana yang dibawa ke podium dan mana yang dibiarkan tenggelam di luar sorotan.
Contohnya terlihat jelas ketika capaian pembangunan perumahan rakyat diumumkan: ribuan unit sudah berhasil direalisasikan, angka yang memang patut diapresiasi. Namun, di balik angka besar itu, masih ada cerita rakyat kecil yang mengeluh karena proses birokrasi rumit atau kualitas bangunan yang belum merata.
Demikian pula soal pupuk. Distribusi subsidi memang meningkat, tetapi petani di beberapa daerah tetap menjerit karena pasokan sering terlambat. Semua itu bisa hilang tertutup dalam narasi keberhasilan nasional yang terukur dengan angka.
Meski demikian, publik sebenarnya juga mengerti bahwa seorang presiden bukanlah dosen statistik yang wajib menguraikan semua detail pahit. Fungsi utama seorang pemimpin di podium adalah memberikan arah, bukan menambah pesimisme.
Karena itu, pidato dengan nada positif bukanlah sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan politik. Sama dengan kecerdasan buatan yang terus belajar menampilkan jawaban dengan nada meyakinkan, seorang presiden dituntut menghadirkan kepercayaan diri di tengah rakyat.
Namun, di sinilah letak paradoksnya. Publik butuh optimisme, tetapi mereka juga menuntut kejujuran. Jika pidato selalu penuh angka indah tanpa sentuhan realitas getir, kepercayaan bisa perlahan terkikis.
Harapan memang penting, tetapi rakyat tidak bisa hidup hanya dengan retorika. Pada akhirnya, pidato presiden selalu berjalan di atas garis tipis antara menjadi sumber inspirasi dan risiko dianggap hanya menjual mimpi.
Karena itulah, gaya komunikasi presiden hari ini mirip algoritma optimisme: selalu mengarahkan perhatian pada tren positif, selalu menekankan keberhasilan, dan selalu mengecilkan kekurangan. Bagi sebagian kalangan, itu bisa terasa menghibur, bahkan menenangkan.
Namun, bagi yang terbiasa membaca data lebih dalam, gaya itu bisa memunculkan tanda tanya: di mana letak kejujuran dalam detail-detail kecil yang tak disebutkan?
Mungkin di situlah seni berpidato seorang presiden. Tidak sepenuhnya jujur dalam arti telanjang, tapi juga tidak sepenuhnya menutup mata dari masalah.
Optimisme disajikan sebagai paket utama, sedangkan problematika dipadatkan menjadi angka minor. Dan, selama di publik masih ada ruang untuk percaya, gaya itu akan terus dipertahankan.
Persis seperti AI yang selalu memberikan jawaban dengan kecenderungan positif, pidato presiden pun dibangun di atas prinsip yang sama. Optimisme menjadi program utama dan rakyat diajak melihat masa depan dengan kacamata penuh harapan meski di balik layar ada bug yang masih harus diperbaiki.
Bedanya, kalau AI error, tinggal restart. Kalau presiden error? Rakyat yang harus menanggung hang-nya. Sama dengan influencer di Instagram yang selalu tampil mulus berkat filter, presiden di podium pun hadir dengan filter statistik.
Bedanya, kalau filter selebgram pecah, wajah jadi kusam. Kalau filter presiden pecah? Bisa-bisa wajah bangsa yang terlihat lusuh. (*)
*) Eko Ernada adalah direktur Sejahtera Initiative dan dosen FISIP Universitas, Jember.