“Prosesnya itu dari mulai buat teksnya dulu, habis itu dikoreksi juga tata bahasanya. Kira-kira mana yang kurang akurat,” ceritanya. Setelah itu, dia berlatih intensif selama sekitar 3 minggu.
“Latihannya bareng-bareng sama teman-teman. Didukung dosen pembimbing dan para native speaker,” terangnya. Dari Unesa, Aileen memang tidak sendirian. Ada beberapa teman sekampus yang bersaing dengannya di Atrium Tunjungan Plaza 6 pada hari kompetisi.
Serius berlatih, Aileen sampai mengabaikan kesehatannya. Pada hari H, dia sakit. Kondisi itu membuatnya khawatir tidak bisa tampil maksimal. Namun, dia memaksakan diri untuk tampil karena sudah berlatih keras.
Saat latihan, Aileen mengaku selalu melebihi durasi waktu yang ditetapkan. Seharusnya, dia hanya berpidato selama maksimal 3 menit. Durasi dan kondisi kesehatan membuat Aileen grogi saat tiba gilirannya untuk berpidato.
Di luar dugaan, rasa groginya malah membuat dia berbicara dengan tempo yang lebih cepat dari biasanya. Alhasil, dia tidak melewati batas waktu maksimal.
Lega bisa menunaikan tugas dengan baik, Aileen masih tidak punya firasat akan menang. Namun, pidatonya memang cukup mengesankan.
“Jadi saya menyampaikan pandangan saya tentang masa depan. Menurut saya, masa depan ini bukan hanya milik saya, tapi juga milik negara saya,” ungkapnya.
Sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa Mandarin, Aileen menekankan pentingnya peran pendidik dalam membentuk masa depan bangsa. “Saya ingin bisa bermanfaat buat sekitar, paling enggak buat lingkungan keluarga, teman, dan kalau bisa lebih luas lagi ya negara,” imbuhnya.
Aileen sangat terkesan pada kompetisi pertama yang dia ikuti itu. Apalagi, dia bertemu dengan Founder Harian Disway Dahlan Iskan di lokasi kompetisi. “Kemarin itu sempat ngobrol juga sama Pak Dahlan Iskan, sama teman-teman juga,” ujarnya.
Kemenangan Aileen mendatangkan kebanggaan bagi keluarganya. Sang ayah, Gatot Supriyantono, bahagia melihat anaknya jadi juara.
BACA JUGA:5 Alasan Pentingnya Menguasai Bahasa Mandarin di Tahun 2025