Menurutnya, fenomena tersebut adalah bentuk penjajahan baru, yaitu penjajahan budaya dan algoritma. Yang di mana dunia modern perlahan mengikis nilai-nilai lokal, mengganti kebijaksanaan dengan popularitas, dan kearifan dengan kecepatan.
BACA JUGA:Wamenag Optimistis Izin Pembentukan Ditjen Pesantren Terbit Sebelum Hari Santri
Dengan demikian, santri perlu melahirkan Resolusi Peradaban, sebagai bentuk gerakan moral untuk menebarkan nilai-nilai pesantren, seperti kesederhanaan, rendah hati, dan toleransi di tengah dunia yang makin individualistis dan digital.
Dalam Apel Hari Santri 2024, Nasaruddin juga menegaskan bahwa santri harus menguasai sains dan teknologi, serta berani berinovasi. Hal tersebut bertujuan agar santri dapat menjadi generasi yang berdaya saing global.
Ia juga berharap agar santri dapat menjadi generasi yang berilmu, berakhlak, serta kompetitif secara global. Tentunya tanpa meninggalkan jati diri keislaman serta nilai pesantren mereka.
Pesantren dan Moderasi Beragama
Nilai Moderasi Beragama telah lama menjadi ciri khas pesantren. Prinsip tersebut mengajarkan tentang keseimbangan antara menjalankan ajaran agama sendiri (ekslusif) dan menghormati keyakinan orang lain (inklusif). Sebagaimana dalam Buku Moderasi Beragama (Kemeterian Agama, 2019).
Di pesantren, perbedaan pandangan dan latar belakang bukanlah sebuah ancaman, melainkan dianggap sebagai sarana belajar. Nilai-nilai utama pesantren, seperti tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan i’tidal (adil), membentuk karakter santri yang terbuka, adil, dan bijaksana.
BACA JUGA:Menag Buka Hari Santri 2025 di Tebuireng, Umumkan Rencana Eselon I Khusus Pesantren
Nilai-nilai tersebut tidak hanya diajarkan, tetapi benar-benar dipraktikkan oleh para santri dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan pesantren.
Sebelum konsep Moderasi Beragama ditetapkan sebagai kebijakan nasional, pesantren telah lebih dulu menerapkannya dalam kehidupan sosial dan spiritual sehari-hari. Dalam berbagai kitab klasik yang diajarkan di pesantren, seperti Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali dan Ta’lim al-Muta’allim karya Al-Zarnuji,
Dengan adanya kitab klasik tersebut, santri diajarkan untuk menjaga keseimbangan antara ibadah dan akhlak, antara memahami teks agama dan menerapkannya dalam konteks kehidupan, serta antara keimanan dan kemanusiaan.
BACA JUGA:Buka Hari Santri 2025, Menag Ungkap Rencana Eselon I Khusus Urus Pesantren
Dengan tradisi keilmuannya yang kuat, santri terbiasa berpikir berdasarkan ajaran syariat, namun tetap terbuka terhadap perubahan dan realitas sosial di sekitarnya.
Tak hanya itu, pesantren juga berperan penting dalam menjaga kerukunan umat beragama dan melawan ekstremisme. Santri mampu menafsirkan ajaran agama sesuai kearifan lokal, sehingga Islam bisa hidup berdampingan dengan nilai-nilai Pancasila dan budaya Nusantara.
Ketika banyak negara terpecah karena intoleransi dan konflik keagamaan, Indonesia justru memiliki kekuatan berupa harmoni sosial dan spiritual yang dijaga oleh para santri dan pesantren.