Menurutnya, praktik tersebut melanggar Pasal 23 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan berpotensi mengabaikan keadilan bagi korban.
“Perlindungan anak oleh UPTD PPA juga belum maksimal akibat keterbatasan tenaga pendamping, psikolog, dan sumber daya hukum di daerah,” jelasnya.
Marciana juga menyoroti lemahnya pelaksanaan restitusi bagi korban kekerasan. Pemenuhan hak korban, kata dia, sering terhambat oleh rumitnya prosedur, ketidakjelasan sumber pendanaan, serta kurangnya perhatian aparat dalam penyitaan aset pelaku.
BACA JUGA:Kemenkum Jatim Gandeng WIPO, 75 UMKM Disiapkan Jadi Pemain Global Berbasis Kekayaan Intelektual
BACA JUGA:Wamen ATR/BPN Tekankan Digitalisasi Layanan Pertanahan, Kemenkum Jatim Siap Bersinergi
Berdasarkan data terbaru SIMFONI PPA, sejak 1 Januari hingga 16 Oktober 2025 tercatat 25.194 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Jawa Timur menempati posisi kedua tertinggi setelah Jawa Barat dengan 2.113 kasus.
Angka tersebut menjadi peringatan bahwa kekerasan masih menjadi persoalan serius yang membutuhkan perhatian lintas sektor.
Marciana menegaskan, kegiatan FGD ini merupakan bagian dari evaluasi nasional terhadap regulasi perlindungan perempuan dan anak, sebagaimana arahan langsung dari Presiden.
“Tujuannya agar sistem hukum nasional dapat berfungsi sebagai alat penyembuh dan pemberi solusi, bukan sekadar aturan formal. Lex Semper Dabit Remedium — hukum harus selalu memberikan obat dan solusi,” tegasnya.
BACA JUGA:Kemenkum Jatim Genjot Pembentukan Posbankum Desa/Kelurahan
BACA JUGA:Kemenkum Jatim Harmonisasi Raperda Trantibum Linmas Banyuwangi
Diskusi interaktif ini menghasilkan sejumlah rekomendasi awal yang akan dirumuskan lebih lanjut oleh tim BPHN. Rekomendasi tersebut akan menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan hukum nasional berperspektif gender dan berpihak pada korban.
Selain itu, kegiatan ini juga memperkuat sinergi antara BPHN, Kanwil Kemenkumham Jatim, akademisi, aparat penegak hukum, dan lembaga masyarakat. Kolaborasi lintas sektor ini diharapkan dapat membangun sistem hukum yang lebih responsif, berkeadilan, dan berorientasi pada pemulihan korban.
Di akhir acara, para peserta menegaskan komitmen bersama untuk memperjuangkan perlindungan hukum yang setara bagi perempuan dan anak, sekaligus memperluas kesadaran hukum berperspektif gender di masyarakat. (*)
*) Mahasiswa magang dari Prodi Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya