BACA JUGA:Menghakimi Pesantren, Adilkah Kita?
Ismail menilai, pihak pesantren menunjukkan respons positif terhadap berbagai upaya ini. “Saya melihat pihak pesantren benar-benar serius dalam masalah ini. Mereka terbuka berdiskusi dengan aktivis perempuan, ormas keagamaan, LSM, dan kampus yang peduli pada isu ini,” paparnya.
Sebagai upaya sistematis, Kemenag telah menyusun peta jalan pengarusutamaan Pesantren Ramah Anak (PRA) sebagai berikut:
BACA JUGA:Prabowo Setujui Pembentukan Ditjen Pesantren, Fokus Pendidikan hingga Pemberdayaan Santri
- Fase Penguatan Dasar (2025–2026): sosialisasi kebijakan, peningkatan kapasitas SDM, pembentukan gugus tugas PRA dan Satgas, serta pemenuhan indikator PRA dalam rencana strategis (Renstra).
- Fase Akselerasi (2027–2028): replikasi dan pelembagaan PRA di lebih banyak pesantren, serta penguatan dukungan anggaran dan kemitraan lintas sektor.
- Fase Kemandirian (2029): integrasi prinsip PRA ke dalam sistem manajemen kelembagaan pesantren secara berkelanjutan.
Layanan Telepontren merupakan bagian dari kebijakan Kemenag dalam implementasi Keputusan Menteri Agama Nomor 83 Tahun 2023 tentang Pedoman Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan.
Kebijakan ini sekaligus memperkuat pelaksanaan Program Pesantren Ramah Anak (PRA) yang telah dimulai sejak 2022.
Menurut Menteri Agama Nasaruddin Umar, kehadiran sistem pelaporan digital adalah bukti bahwa Kemenag tidak hanya berhenti pada tataran kebijakan, tetapi juga menghadirkan solusi nyata di lapangan. (*)
*) Mahasiswa magang Prodi Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya