Refleksi Hari Sumpah Pemuda 2025: Dua Wajah di Lini Masa, Potret Generasi Gelisah

Selasa 28-10-2025,05:33 WIB
Oleh: A. Muzakky C. & Dhahana A.P.*

BACA JUGA:5 Tokoh Sumpah Pemuda yang Bikin Generasi Indonesia Bersatu

BACA JUGA:5 Buku yang Membangkitkan Nasionalisme dan Perjuangan Anak Muda, Sambut Sumpah Pemuda

Fenomena Gemini adalah cermin sempurna dari tegangan itu. Di satu sisi, ada upaya untuk tetap berada dalam koridor ekspektasi sosial. Di sisi lain, ada hasrat untuk mengekspresikan diri secara autentik.

Dalam konteks ini, tren tersebut berfungsi sebagai sebuah ritual modern. Proses memilih foto, menyandingkannya, dan mengunggahnya adalah sebuah ritus penegasan diri di hadapan ”suku” digitalnya. 

Bagi kelompok yang ekspresinya sering dibatasi oleh norma, seperti perempuan, ritual itu memiliki makna politis. Ia menjadi bentuk agensi –kemampuan untuk bertindak dan membentuk narasi sendiri. Tanpa perlu melakukan konfrontasi terbuka, mereka secara simbolis memperluas batasan identitas gender yang kaku. 

BACA JUGA:Menyalakan Semangat Sumpah Pemuda lewat Film Perjuangan Anak Bangsa

BACA JUGA:Benang Merah Sumpah Pemuda dari Kongres 1928 ke Masa Kini

Foto yang menampilkan sisi ”sopan” dan sisi ”berani” secara bersamaan adalah sebuah pernyataan visual yang kuat: ”Saya utuh dengan segala kompleksitas saya”.

Simbolisme zodiak Gemini itu sendiri menjadi jangkar naratif yang kuat. Citranya sebagai sosok ”berwajah dua” dan dinamis menyediakan sebuah kerangka budaya populer yang siap pakai, memungkinkan jutaan individu dengan latar belakang berbeda untuk berpartisipasi dalam sebuah percakapan visual kolektif tentang dualitas. 

Itu adalah contoh bagaimana simbol global diadopsi dan diberi makna baru dalam konteks lokal.

BACA JUGA:Sumpah Pemuda 2025: Semangat Baru Generasi Z untuk Indonesia

BACA JUGA:5 Cara Gen Z Bikin Hari Sumpah Pemuda Jadi Lebih Seru

PERFORMATIVITAS DAN KOMODIFIKASI DIRI

Judith Butler, filsuf, berargumen bahwa identitas adalah sesuatu yang kita ”lakukan” secara berulang, bukan sesuatu yang kita ”miliki”. Media sosial adalah arena utama bagi performativitas identitas itu. 

Namun, panggung tersebut beroperasi di bawah logika kapitalisme digital yang dikenal sebagai ”ekonomi perhatian”. Setiap unggahan adalah produk yang bersaing untuk mendapatkan atensi.

Di sanalah letak ambivalensi dari fenomena Gemini. Di satu sisi, ia adalah alat pemberdayaan dan ekspresi autentik. Di sisi lain, ia berisiko menjadi strategi untuk ”mengemas” diri agar terlihat lebih kompleks dan menarik, sebuah komodifikasi identitas demi mendapatkan validasi berupa likes dan engagement

Kategori :