Mission (Im)possible Danantara: Mesin Investasi atau Instrumen Geopolitik?

Rabu 29-10-2025,23:44 WIB
Oleh: Sukarijanto*

RUU tersebut kemudian disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-12 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024/2025 tanggal 4 Februari 2025. 

Dengan aset superjumbo bernilai Rp14.700 triliun yang bersumber dari delapan BUMN (Bank Mandiri: Rp2.174 triliun; BRI: Rp1.965 triliun; PLN: Rp1.671 triliun; Pertamina: Rp1.412 triliun; BNI Rp1.087 triliun; Telkom Indonesia Rp318 triliun; MIND ID Rp259 triliun; dan Indonesia Investment Authority (INA) Rp163 triliun), Danantara berpotensi menjadi superholding raksasa. 

Danantara bisa mengalahkan Temasek, GIC, dan Khazanah di kawasan Asia. Namun, persoalannya, mampukah Danantara mengonsolidasi dan me-leverage sumber daya yang begitu besar serta menjadikannya sebagai cashcow sebagaimana para pesaingnya dari negeri jiran? 

Ataukah Danantara hanya menjadi kendaraan elite penguasa sebagai alat bargaining di kancah persaingan geopolitik dunia yang makin eskalatif?

Dalam teori ekonomi pembangunan, kehadiran SWF mampu menjadi alat strategis untuk mengoptimalkan pengelolaan aset negara, mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri, serta memastikan stabilitas ekonomi jangka panjang. 

Akselerasi pertumbuhan investasi mendorong pula pertumbuhan ekonomi negara melalui peningkatan produk domestik bruto (PDB) per kapita. 

Keberhasilan dalam mengelola SWF tidak hanya ditentukan oleh besarnya dana yang dimiliki atau imbal hasil investasi yang diperoleh, tetapi juga oleh aspek transparansi dan akuntabilitas yang diterapkan dalam pengelolaannya. 

Tanpa dua pilar itu, sulit bagi masyarakat untuk memercayai bahwa dana tersebut benar-benar dikelola untuk kepentingan negara, tidak sekadar menjadi alat bagi elite ekonomi dan politik untuk menguntungkan kelompok tertentu. 

Kepercayaan publik adalah aset fundamental dalam pengelolaan dana negara, dan tanpa mekanisme pengawasan yang kuat serta keterbukaan yang terjamin, SWF berisiko mengalami distorsi tujuan yang pada akhirnya merugikan perekonomian nasional.

Negara-negara yang berhasil mengelola SWF umumnya memiliki mekanisme partisipasi publik yang baik. Dengan begitu, kebijakan investasi dapat diuji secara terbuka dan transparan. 

Indonesia mungkin perlu belajar dari model Norwegia, yang menjadikan pengelolaan SWF sebagai bagian dari kebijakan publik yang terbuka, bukan sekadar instrumen keuangan yang dikendalikan segelintir pihak. 

Sebagai contoh, Government Pension Fund Global (GPFG) di Norwegia secara rutin mengungkapkan kebijakan investasinya kepada publik dan memiliki anggota dewan penasihat independen yang bebas dari afiliasi kepentingan politis yang menjamin bahwa dana tersebut digunakan sesuai dengan prinsip keberlanjutan dan kesejahteraan jangka panjang. 

GPFG yang bersumber dari hasil pendapatan eksplorasi minyak dan gas di Laut Utara dimanfaatkan untuk menopang Norwegia dalam menjaga stabilitas ekonomi, bahkan jika harga minyak dunia mengalami kontraksi, tanpa harus menambal defisit APBN dari utang. 

Kunci sukses GPFG ada empat. 

Pertama, restrukturisasi BUMN agar lebih efisien dan kompetitif. Kedua, tata kelola investasi yang ketat memastikan keputusan berbasis analisis ekonomi dan bisnis yang feasible dan bersih dari kepentingan politis. 

Ketiga, menjadi penggerak likuiditas di pasar saham, menjaga stabilitas, dan daya saing ekonomi nasional. Keempat, mempertahankan portofolio di sektor green economy yang berkelanjutan.

Kategori :