Di Jerman, fenomena serupa terjadi. Banyak kas daerah (kommunalkassen) menumpuk sementara waktu, bukan karena kelalaian, melainkan karena disiplin anggaran yang ketat. Setiap pengeluaran harus disertai kepastian akuntabilitas. Mereka menyebutnya haushaltliche vorsicht, ’kehati-hatian fiskal sebagai bentuk tanggung jawab moral’.
Bahkan, di Amerika Serikat, hubungan antara pemerintah federal dan negara bagian kerap memunculkan ketegangan serupa. Washington ingin mempercepat belanja stimulus, sedangkan negara bagian menahan sebagian dana dalam rainy day funds untuk cadangan darurat. Publik menuduh mereka lambat. Padahal, dalam tradisi fiscal federalism, kehati-hatian justru dianggap tanda kedewasaan politik.
Maka, rupanya, kebijaksanaan untuk menunggu tak hanya hidup di tanah Jawa. Dari Tokyo hingga Berlin, dari Surabaya hingga Washington, uang yang diam bisa berarti hal yang sama: akal sehat yang menolak tergesa-gesa.
Kita hidup di zaman yang tak sabar. Zaman scroll cepat, yakni perhatian publik hanya bertahan tiga detik dan kesimpulan dibangun lebih cepat daripada data. Dalam arus deras itu, makna kebijakan publik yang menunggu sering tenggelam di antara komentar dan tagar.
Seperti diingatkan Goethe, segala yang besar butuh waktu untuk tumbuh. Waktu memberikan kedalaman pada tindakan dan ketepatan pada tangan. Kekuasaan pun, kata Yudi Latif, bukan tentang berbuat sebanyak-banyaknya, melainkan tahu kapan menahan diri. Begitu pula kebijakan fiskal, latihan sabar antara hari ini dan esok.
Sebab, pada akhirnya, uang bukan sekadar angka. Ia adalah cermin dari cara kita memahami waktu.
Apakah kita memperlakukan uang sebagai alat untuk bergegas atau sebagai sarana untuk berpikir panjang?
Negara yang bijak bukan yang menghabiskan cepat, melainkan yang mengelola dengan nalar panjang umur: yang tahu kapan menanam, kapan menyimpan, kapan menuai.
Negara yang baik bukan yang selalu cepat, melainkan yang tahu kapan cepat adalah kebajikan dan kapan lambat adalah keharusan. Sebab, di dalam jeda, di sela-sela ”uang yang tampak diam”, sesungguhnya ada bentuk lain dari kerja: kerja kebijaksanaan.
Dan mungkin, seperti manusia, uang pun sesekali perlu belajar sabar agar ketika ia akhirnya bergerak, ia tahu ke mana harus pergi. (*)
*) Eko Ernada adalah dosen FISIP, Universitas Jember.