BACA JUGA:DPR Sahkan Perubahan RUU, Haji dan Umrah Kini Diselenggarakan oleh Kementerian Haji dan Umrah
BACA JUGA:Bandara Dhoho Kediri Siap Layani Penerbangan Umrah, Bisa 4 Kali Per Bulan
Jika kemudian DPR menghapus batas-batas itu dengan dalih ”keterbukaan pilihan”, sesungguhnya mereka sedang merusak sistem yang sehat demi euforia liberalisasi.
EKOSISTEM IBADAH BUKAN EKOSISTEM BISNIS
Kesalahan paling mendasar dari narasi DPR itu adalah memperlakukan umrah seperti pasar komoditas. Mereka lupa bahwa ibadah bukan barang dagangan. Dalam The Moral Economy of Welfare (Whiteside, 2000), ditegaskan bahwa tidak semua sektor publik dapat diukur dengan logika efisiensi karena certain activities carry moral consequences that transcend market values.
Ketika DPR berkata ”umrah mandiri memberi masyarakat pilihan yang lebih beragam”, mereka lupa bahwa dalam konteks ibadah, bukan banyaknya pilihan yang penting, melainkan keselamatan dalam pilihan itu.
Dalam Islamic Public Administration karya Ali Shariati (1980), ditegaskan bahwa fungsi pemerintahan Islam tidak hanya mengatur, tetapi juga menuntun agar setiap aktivitas umat berujung pada kemaslahatan. Maka, kebijakan yang membuka ruang risiko tanpa proteksi bukan kemaslahatan, melainkan kelalaian namanya.
DARI LEGISLASI KE DEREGULASI YANG KEBABLASAN
Secara teoretis, kebijakan publik yang sehat harus melalui proses regulatory impact assessment (RIA), sebagaimana diamanatkan oleh OECD Regulatory Policy Guidelines (2012). Tujuannya, setiap kebijakan yang diusulkan memiliki proyeksi manfaat, risiko, dan dampak sosial yang terukur.
Pertanyaannya, apakah RIA dilakukan sebelum DPR dan pemerintah mengesahkan pasal umrah mandiri dalam UU Nomor 14 Tahun 2025? Apakah ada analisis risk governance terhadap kemungkinan penipuan, kehilangan jamaah, kegagalan sistem visa, atau konflik yurisdiksi dengan otoritas Arab Saudi?
Jika tidak ada, UU itu cacat secara prosedural dan substansial. Sebab, sebagaimana diingatkan oleh William N. Dunn (2018) dalam Public Policy Analysis: An Integrated Approach: ”A policy that ignores implementation risk is a policy designed for failure”. Dalam bahasa saya: ”Kebijakan yang menutup mata terhadap risiko di lapangan sejatinya sedang menulis skenario kegagalannya sendiri”.
Dan sayangnya, ”umrah mandiri” yang dipuji DPR sebagai bentuk kemajuan justru mengandung risiko gagal total. Sebab, itu menghapus sistem perlindungan tanpa membangun mekanisme pengganti.
NASIHAT UNTUK LEGISLATOR
Maka, dengan penuh hormat, izinkan saya memberikan nasihat akademik, bukan serangan politik. Bacalah Studying Public Policy karya Howlett & Ramesh agar paham bahwa ekosistem tidak berarti kebebasan tanpa batas. Bacalah Public Policy Analysis karya William Dunn agar tahu bahwa setiap kebijakan harus disertai analisis risiko dan dampak sosial.
Bacalah The Moral Economy of Welfare karya Noel Whiteside agar sadar bahwa tidak semua urusan publik bisa diserahkan kepada pasar. Dan jangan lupa, baca juga Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali agar mengerti bahwa maqashid syariah menempatkan hifzh ad-din (menjaga agama) sebagai prioritas tertinggi kebijakan umat.
Jika DPR benar ingin menyehatkan ekosistem umrah, seharusnya yang diperkuat adalah pengawasan, integrasi data, dan perlindungan jamaah. Bukan justru membuka peluang kekacauan dengan dalih diversifikasi pilihan.