Batin Tulang Belulang Homo Erectus, si Manusia Jawa

Minggu 02-11-2025,22:33 WIB
Oleh: Nanda Alifya Rahmah*

Fakta biologis tersebut datang bersamaan dengan masa Hindu-Buddha dan perdagangan (indianisasi), mencapai puncaknya pada masa Sriwijaya dan Majapahit (abad ke-8 hingga ke-15 Masehi).

BATIN JAWA

Uniknya, temuan genetika India pada darah orang Jawa, sebagaimana dicatat dalam penelitian Herawati Sudoyo (dimulai 1996), justru konsisten dengan fakta sejarah. Pada persentase kecil di beberapa populasi di Nusantara, Sudoyo mencatat DNA India diasosiasikan dengan migrasi pedagang dan pemuka agama (brahmana) pada masa indianisasi.

Dapat dilacak pula pada tulisan-tulisan N.J. Krom dan F.D.K. Bosch. Proses indianisasi, bagi keduanya, secara tidak langsung mendukung pemisahan antara dasar genetik/budaya lokal (Austronesia) dan superstruktur kebudayaan (India) yang datang belakangan. 

Sejarah genetika dan bahasa menunjukkan identitas dasar orang Jawa adalah Austronesia. Sementara itu, kontak dengan India menyusun identitas historis dan monumental Jawa yang dilakoni hari ini. 

Percabangan akar tersebut menjalin pola batin Jawa: menerima yang asing tanpa kehilangan yang asal. Sejalan dengan banyak tradisi Timur lain, batin Jawa menolak dualisme substansial dan berpijak pada keselarasan. Dalam ruang realitas, dunia spiritual tidak dibaca sebagai  ”di atas” atau ”di luar” dunia fisik, tetapi tertanam di dalamnya. 

Dalam tradisi filsafat Barat, gagasan tersebut menemukan titik singgung dengan pemikiran Mircea Eliade (1949) dan Ernst Cassirer (1923). Eliade, dalam The Myth of the Eternal Return, mengenalkan istilah manusia arkaik (l’homme archaïque) sebagai sebuah modus keberadaan. 

Pengalaman manusia arkaik dihikmahi dalam siklus kosmis dan simbolis, sebuah trayek waktu mistis. Bukan dalam sejarah liniar. 

Sebagai manusia arkaik, kesadaran genetika-batin Jawa sejatinya tidak dibangun dalam keingintahuan mengungkap ”dari mana saya berasal”, tetapi dalam modus kesadaran menjalin hubungan dengan misteri asal-mula.

Barangkali, itulah alasan mengapa leluhur kita yang bijak mewariskan bahasa –dalam setiap kata, setiap bunyi, kita senantiasa terhubung. Modus keterhubungan yang telah menjadi DNA kita sejak purba.

Batin Jawa yang arkaik itu tidak sepenuhnya berbentur dengan logika modern. Kita boleh saja menerima kelahiran sebagai satu pemenuhan probabilitas dari ratusan ribu lebih kemungkinan. Bapak dan ibu kita kebetulan bertemu. Kebetulan menikah. Kebetulan kita lahir. 

Kebetulan kakek-nenek kita bertemu dan ibu kita lahir. Bapak kita lahir. Bahkan, dengan menerima itu sebagai kebetulan, sejak kakek-nenek kita, kita butuh setidaknya tiga kebetulan. Dalam 18 generasi moyang, sebagaimana dicatatkan silsilah trah tumerah, perhitungan eksponensial menunjukkan betapa cepatnya kebetulan melejit. 

Dibutuhkan setidaknya lima abad untuk jarak 18 generasi terbentang. Dengan penghitungan 2n, setidaknya perlu 260 ribu lebih kebetulan yang persis sama agar kita bisa ada di sini. 

SOWAN KEPADA TANAH-AIR

Sains, di sisi lain, sejatinya hadir untuk meneguhkan kesadaran yang selaras itu. Penghormatan terhadap asal-usul sejatinya ditunaikan secara simultan dengan penghormatan terhadap kehidupan saat ini.

Negara telah mengajak kita terhubung dengan leluhur, di antaranya melalui narasi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. 

Kategori :