Batin Tulang Belulang Homo Erectus, si Manusia Jawa
ILUSTRASI Batin Tulang Belulang Homo Erectus, si Manusia Jawa.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
FOSIL Homo erectus koleksi Eugene Dubois yang dikembalikan Belanda ke Indonesia menyita kabar gembira beberapa pekan terakhir. Secara unik, FOSIL itu dinamai Manusia Jawa, merujuk lokasi penemuannya: Jawa. Kita jadi merasa memiliki hubungan dengannya. Namun, apakah hubungan kita semata karena hidup di tanah yang sama?
Masyarakat Jawa memegang konsep unik dalam memahami leluhur dan misteri asal-usul. Dalam praktik sowan leluhur, misalnya. Laku berkunjung dimanifestasikan bukan hanya dengan mendatangi makam tua. Praktik itu dimulai dari menyadari makna kata ”leluhur” bukan sebatas nenek moyang dari ratusan atau ribuan tahun lalu.
Leluhur adalah jejaring kausalitas kelahiran. Maka, kesadaran leluhur meliputi penghormatan kepada orang tua kandung, simbah, buyut, canggah, wareng, udheg-udheg, gantung siwur, dan terus ke atas. Masyarakat Jawa mengenal 18 penyebutan. Namun, leluhur adalah kausal yang tidak berhenti pada 18 istilah itu.
BAHASA, GENETIKA JAWA
Ajisaka pernah menanamkan kepada hati kita keyakinan tentang siapa leluhur orang Jawa. Hanacaraka, dalam empat larik puisi itu, kita menerima saja simpul-simpul tak terurai sebagai penanda keberadaan –melalui bahasa– kita percaya: kita memang orang Jawa.
Leluhur kita yang bijak telah membangunkan jembatan itu agar kita senantiasa terhubung, agar kita tidak perlu merasa sendiri.
Kisah Ajisaka menarik imajinasi ke masa purba, di mana tanah Jawa seluruhnya hutan belaka, dan seorang raksasa, Dewata Cengkar, hidup menyantap manusia.
Pengetahuan modern perlahan menggoyah keyakinan itu. Keyakinan yang barangkali memang sejak awal rapuh.
Kisah Ajisaka sendiri teridentifikasi pada sejumlah karya sastra era Mataram Islam, sekitar abad 17–18 Masehi. Relatif muda. Berdasar itu, sebagian sejarawan meyakini cerita Ajisaka menandai gelombang awal akulturasi budaya India di Jawa. Tepatnya sekitar abad 1–4 Masehi.
Saat itu pengaruh bahasa Sanskerta, Hindu-Buddha, dan sistem tulisan Pallawa dibawa oleh para pelaut dan brahmana dari India Selatan.
Dari situ, kita mulai menggali lebih dalam. Penemuan Homo erectus di tepian Bengawan Solo tahun 1891 meruntuhkan imajinasi kita tentang Ajisaka. Sebuah batok kepala tak utuh yang diyakini merupakan bagian belulang manusia purba memaksa kita memikirkan asal-usul sekali lagi.
Ia pernah tubuh utuh pada 700 ribu hingga 1 juta tahun lalu. Temuan tersebut tak dapat disanggah sebagai bukti bahwa manusia sudah hidup di Jawa sejak masa Pleistosen, jauh sebelum kebudayaan India atau konsep Ajisaka muncul.
Sejarah kekerabatan kita direvisi. Tahun 1993, penelitian genetika awal dipelopori oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman sibuk mengotak-atik DNA orang Jawa dan etnik Indonesia lainnya.
Berdasar temuan, leluhur genetik penduduk Jawa, seperti mayoritas etnik di Nusantara, adalah campuran berbagai gelombang migrasi. Namun, utamanya adalah kelompok Austronesia dan Asia Timur, yaitu gelombang migrasi yang bergerak dari Taiwan ke wilayah Asia Tenggara sekitar 4.000 hingga 6.000 tahun lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: