Bolehkah Umat Islam Mengucapkan Selamat Hari Natal? Ini Penjelasannya

Bolehkah Umat Islam Mengucapkan Selamat Hari Natal? Ini Penjelasannya

Perbedaan pandangan ulama tentang ucapan Selamat Hari Natal menegaskan pentingnya sikap bijak dalam menjaga akidah sekaligus toleransi.-freepik-

HARIAN DISWAY - Setiap menjelang 25 Desember, perdebatan tentang boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal kembali mengemuka. Ada yang menyarankan umat Islam tidak mengucapkan selamat Natal. Namun, ada pula yang sebaliknya, menyarankan memberi ucapan selamat Natal.

Polemik tahunan itu masih menjadi topik diskusi hangat di ruang publik, media sosial, dan lingkungan keluarga sampai 2025 ini.

Perbedaan pendapat yang muncul sering kali menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Sebagian umat Islam merasa ragu untuk bersikap, terutama dalam konteks menjaga toleransi dan keyakinan secara bersamaan.

Di Indonesia yang plural dan majemuk, interaksi lintas agama merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, persoalan ini perlu dipahami secara komprehensif dan tidak disikapi secara emosional.

BACA JUGA:Menag Nasaruddin Hadiri Natal 2025 di Manado, Tegaskan Pesan Solidaritas dan Toleransi Beragama

BACA JUGA:Natal sebagai Simbol Kemanusiaan dan Kasih Universal

Keberagaman Agama dan Realitas Sosial Masyarakat

Indonesia adalah negara dengan tingkat keberagaman agama yang tinggi. Umat Islam hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam berbagai aspek kehidupan. Di lingkungan kerja, pendidikan, maupun sosial.

Dalam realitas sosial tersebut, ucapan selamat sering dipandang sebagai bentuk etika dan sopan santun. Namun, Islam mengajarkan bahwa setiap ucapan juga memiliki konsekuensi makna yang perlu dipertimbangkan.

Perbedaan antara sikap sosial dan keyakinan agama menjadi titik penting dalam diskusi ini. Tidak semua bentuk interaksi sosial otomatis masuk ke ranah akidah.

Pandangan Ulama yang Melarang Ucapan Selamat Natal


SEBAGIAN ULAMA melarang ucapan Selamat Hari Natal karena dinilai berkaitan dengan keyakinan teologis yang bertentangan dengan akidah Islam.-freepik-

Sebagian ulama berpendapat bahwa umat Islam tidak diperbolehkan mengucapkan Selamat Hari Natal. Dasarnya adalah pemahaman bahwa Natal merupakan perayaan yang memiliki dimensi teologis dalam agama Kristen.

BACA JUGA:Misa Malam Natal Katedral, Eri Cahyadi Beri Selamat, Uskup Berpesan Soal Keluarga

BACA JUGA:Eri Cahyadi Tinjau Gereja di Surabaya saat Malam Natal, Pastikan Aman dan Sampaikan Kepedulian Bencana

Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtida’ Shirathal Mustaqim menjelaskan bahwa menyerupai atau ikut serta dalam simbol keagamaan agama lain termasuk perkara yang perlu dihindari.

Menurutnya, hal tersebut berpotensi mengikis kejelasan identitas akidah seorang muslim.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah juga menyampaikan pandangan serupa. Ia menegaskan bahwa memberikan ucapan selamat atas hari raya agama lain termasuk perbuatan yang dilarang jika berkaitan dengan keyakinan keagamaan.

Pandangan ini menekankan pentingnya menjaga batas tegas antara toleransi dan akidah. Ucapan selamat dikhawatirkan dapat dimaknai sebagai bentuk pengakuan terhadap ajaran yang bertentangan dengan Islam.

BACA JUGA:Bersama Kapolda dan Pangdam, Khofifah Kunjungi Tiga Geraja di Surabaya Cek Keamanan Malam Natal

BACA JUGA:Kemenag Jatim Tinjau Gereja Surabaya–Sidoarjo Jelang Natal 2025

Pendapat Ulama Kontemporer yang Membolehkan dengan Syarat

Di sisi lain, sejumlah ulama kontemporer memiliki pandangan yang lebih moderat. Mereka membolehkan ucapan Selamat Hari Natal dengan syarat tidak mengandung pengakuan terhadap keyakinan teologis agama lain.

Yusuf Al-Qaradawi berpendapat bahwa ucapan selamat dalam konteks sosial tidak serta-merta berarti pembenaran akidah. Menurutnya, Islam mengajarkan prinsip berbuat baik dan berlaku adil kepada semua manusia.

Pandangan ini menempatkan ucapan selamat sebagai bagian dari muamalah sosial. Selama niatnya adalah menjaga hubungan baik dan tidak terlibat dalam ritual keagamaan, maka hal tersebut dibolehkan.

Ulama yang membolehkan juga menekankan pentingnya redaksional ucapan. Pilihan kata yang netral dinilai lebih aman dibandingkan ucapan yang bersifat teologis.

BACA JUGA:Gereja-Gereja Simbol Toleransi di Surabaya (1): Enam Rumah Ibadah, Satu Napas

BACA JUGA:Gereja-Gereja Simbol Toleransi di Surabaya (2): Tenggang Rasa di Gereja Bersejarah

Sikap Majelis Ulama Indonesia dan Prinsip Kehati-hatian


MAJELIS ULAMA INDONESIA mengimbau umat Islam untuk berhati-hati menjaga akidah tanpa mengabaikan kerukunan antarumat beragama.-freepik-

Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki sikap yang cenderung mengedepankan kehati-hatian. MUI menekankan pentingnya umat Islam menjaga kemurnian akidah dalam setiap bentuk interaksi.

Namun demikian, MUI juga menegaskan bahwa Islam menjunjung tinggi nilai toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Sikap ini menunjukkan adanya keseimbangan antara prinsip keyakinan dan realitas sosial.

MUI mengimbau agar umat Islam bersikap arif dan tidak mudah saling menyalahkan. Perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah dianggap sebagai hal yang wajar dalam Islam.

Menyikapi Perbedaan Pendapat secara Dewasa dan Bijak

Perbedaan pandangan dalam masalah ucapan Selamat Hari Natal merupakan bagian dari khazanah fikih Islam. Tidak ada satu pendapat tunggal yang dapat dipaksakan kepada seluruh umat.

BACA JUGA:Gereja-Gereja Simbol Toleransi di Surabaya (3): Saudara Enam Ratus Meter

BACA JUGA:7 Rekomendasi Film Komedi Romantis untuk Liburan Natal Bersama Pasangan

Umat Islam yang memilih untuk tidak mengucapkan Selamat Hari Natal memiliki landasan keilmuan yang kuat. Demikian pula mereka yang memilih mengucapkan dengan niat menjaga hubungan sosial.

Sikap saling menghormati menjadi kunci utama dalam menyikapi perbedaan ini. Islam mengajarkan untuk menghindari perpecahan akibat persoalan yang bersifat ijtihadiyah.

Pada akhirnya, setiap individu diharapkan mampu menentukan sikap berdasarkan ilmu dan keyakinan pribadi. Menjaga akidah tanpa mengorbankan kerukunan sosial merupakan nilai penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Dengan pemahaman yang bijak, perbedaan pendapat tidak akan menjadi sumber konflik. Justru, perbedaan tersebut dapat memperkaya cara pandang umat Islam dalam menghadapi realitas keberagaman. (*)

*) Mahasiswa magang dari Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: diolah dari berbagai sumber