Batin Tulang Belulang Homo Erectus, si Manusia Jawa
ILUSTRASI Batin Tulang Belulang Homo Erectus, si Manusia Jawa.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Leluhur kita memang benar bangsa pelaut. Mereka membaca angin dan bintang-bintang untuk berlayar dan bertani. Namun, mereka bukan keturunan Indo-Eropa atau Dravida. Genetika India (dan Asia Selatan) yang ditemukan pada orang Jawa adalah jejak genetik yang relatif baru.
Fakta biologis tersebut datang bersamaan dengan masa Hindu-Buddha dan perdagangan (indianisasi), mencapai puncaknya pada masa Sriwijaya dan Majapahit (abad ke-8 hingga ke-15 Masehi).
BATIN JAWA
Uniknya, temuan genetika India pada darah orang Jawa, sebagaimana dicatat dalam penelitian Herawati Sudoyo (dimulai 1996), justru konsisten dengan fakta sejarah. Pada persentase kecil di beberapa populasi di Nusantara, Sudoyo mencatat DNA India diasosiasikan dengan migrasi pedagang dan pemuka agama (brahmana) pada masa indianisasi.
Dapat dilacak pula pada tulisan-tulisan N.J. Krom dan F.D.K. Bosch. Proses indianisasi, bagi keduanya, secara tidak langsung mendukung pemisahan antara dasar genetik/budaya lokal (Austronesia) dan superstruktur kebudayaan (India) yang datang belakangan.
Sejarah genetika dan bahasa menunjukkan identitas dasar orang Jawa adalah Austronesia. Sementara itu, kontak dengan India menyusun identitas historis dan monumental Jawa yang dilakoni hari ini.
Percabangan akar tersebut menjalin pola batin Jawa: menerima yang asing tanpa kehilangan yang asal. Sejalan dengan banyak tradisi Timur lain, batin Jawa menolak dualisme substansial dan berpijak pada keselarasan. Dalam ruang realitas, dunia spiritual tidak dibaca sebagai ”di atas” atau ”di luar” dunia fisik, tetapi tertanam di dalamnya.
Dalam tradisi filsafat Barat, gagasan tersebut menemukan titik singgung dengan pemikiran Mircea Eliade (1949) dan Ernst Cassirer (1923). Eliade, dalam The Myth of the Eternal Return, mengenalkan istilah manusia arkaik (l’homme archaïque) sebagai sebuah modus keberadaan.
Pengalaman manusia arkaik dihikmahi dalam siklus kosmis dan simbolis, sebuah trayek waktu mistis. Bukan dalam sejarah liniar.
Sebagai manusia arkaik, kesadaran genetika-batin Jawa sejatinya tidak dibangun dalam keingintahuan mengungkap ”dari mana saya berasal”, tetapi dalam modus kesadaran menjalin hubungan dengan misteri asal-mula.
Barangkali, itulah alasan mengapa leluhur kita yang bijak mewariskan bahasa –dalam setiap kata, setiap bunyi, kita senantiasa terhubung. Modus keterhubungan yang telah menjadi DNA kita sejak purba.
Batin Jawa yang arkaik itu tidak sepenuhnya berbentur dengan logika modern. Kita boleh saja menerima kelahiran sebagai satu pemenuhan probabilitas dari ratusan ribu lebih kemungkinan. Bapak dan ibu kita kebetulan bertemu. Kebetulan menikah. Kebetulan kita lahir.
Kebetulan kakek-nenek kita bertemu dan ibu kita lahir. Bapak kita lahir. Bahkan, dengan menerima itu sebagai kebetulan, sejak kakek-nenek kita, kita butuh setidaknya tiga kebetulan. Dalam 18 generasi moyang, sebagaimana dicatatkan silsilah trah tumerah, perhitungan eksponensial menunjukkan betapa cepatnya kebetulan melejit.
Dibutuhkan setidaknya lima abad untuk jarak 18 generasi terbentang. Dengan penghitungan 2n, setidaknya perlu 260 ribu lebih kebetulan yang persis sama agar kita bisa ada di sini.
SOWAN KEPADA TANAH-AIR
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: