Suara Moral Indonesia di Tengah Standar Ganda IOC

Selasa 04-11-2025,05:33 WIB
Oleh: Yayan Sakti Suryandaru*

BACA JUGA:Petinju Transgender Raih Kemenangan Cepat: IOC Kembali Disorot

Jika dahulu sempat ada kalangan yang menyayangkan, situasinya kini berbalik 180 derajat. Agresi dan krisis kemanusiaan di Gaza telah membuka mata banyak bangsa di dunia. Kini penolakan Indonesia justru dipandang sebagai afirmasi prinsip yang berani.

Dampak dari penguatan posisi itu terasa nyata. Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Majelis Umum PBB, yang secara lugas dan berapi-api mengecam kekejaman Israel, dinilai telah mengguncang panggung global. 

Gaya retorika dan ketegasan itu mengingatkan banyak pihak kepada pesona Proklamator Soekarno, menempatkan kembali Indonesia sebagai figur pemimpin negara nonblok yang memiliki daya tawar dan posisi yang jelas.

Pengaruh diplomatik Indonesia itu bukan lagi sebatas wacana. Ketika jutaan warga dunia turun ke jalan menyuarakan dukungan bagi Palestina, sikap pemerintah RI menjadi cermin dari hati nurani masyarakat internasional. 

Sanksi IOC, yang mengeklaim menegakkan netralitas, sesungguhnya sedang berhadapan dengan volksgeist (semangat zaman) dan nurani global. 

Dalam konteks ini, suara Indonesia bukan lagi suara minoritas yang bisa diabaikan, melainkan moral anchor yang memandu kesadaran kolektif. 

Indonesia membuktikan konsistensi terhadap isu Palestina adalah aset diplomatik yang jauh lebih berharga daripada status tuan rumah ajang olahraga mana pun.

OLAHRAGA BUKAN AREA NETRAL, MELAINKAN PANGGUNG POLITIK MORAL

Klaim IOC yang menyebut penolakan Indonesia sebagai pelanggaran prinsip ”netralitas politik” adalah sebuah paradoks besar. Di satu sisi, IOC menuntut agar olahraga hidup di ruang steril yang bebas dari moralitas dan kemanusiaan. 

Di sisi lain, sikap netral tersebut, dalam realitas konflik dan genosida, justru menjadi tindakan politik yang memihak kepada status quo dan rezim penindas. IOC seolah-olah menyuruh Indonesia untuk membungkam hati nurani atas genosida yang disaksikan dunia.

Ambiguitas IOC makin kentara saat praktik standar ganda diterapkan. Kontingen Rusia dikenai sanksi tegas hingga ditolak keikutsertaannya dalam berbagai ajang Olimpiade, termasuk Olimpiade 2024, sebagai respons atas konflik di Ukraina. 

Jika IOC bisa mengambil tindakan politik yang keras atas konflik teritori, menjadi sangat aneh dan tidak berkeadilan jika mereka menekan Indonesia yang mengambil sikap atas isu pendudukan dan kejahatan kemanusiaan yang jauh lebih mendasar dan telah berlangsung puluhan tahun.

Penolakan visa terhadap atlet Israel itu adalah cermin dari tesis yang menyatakan olahraga bukanlah area netral. Kompetisi internasional adalah panggung yang tidak bisa sepenuhnya dipisahkan dari konteks sosio-politik negara pesertanya. 

Partisipasi atlet Israel, di tengah serangan brutal yang terjadi di Gaza, secara inheren mengandung muatan simbolis. Yakni, normalisasi dan pengakuan de facto atas negara tersebut. 

Dengan menolak visa atlet Israel, Indonesia mengirimkan pesan tegas: tidak ada normalisasi selama pendudukan dan kekejaman berlangsung.

Kategori :