Namun, dari semua itu, yang paling mengharukan bukanlah hasil akhirnya, melainkan perubahan yang terjadi dalam diri para siswa.
BACA JUGA:SR Unesa Dibuka 4 Hari Lagi, Ini yang Masih Dikebut
BACA JUGA:Begini Konsep Detail Sekolah Rakyat di Unesa yang Dibuka Tahun Ini, Siap Tampung 150 Siswa
Seorang remaja perempuan yang dulu enggan menatap mata orang lain, kini dengan percaya diri memegang kaos hasil karyanya dan menunjukkan jempol: bahasa isyarat untuk “hebat”.
Program ini, lebih dari sekadar pengabdian, adalah pernyataan bahwa inklusivitas bukan soal memberi tempat, tapi memberi kesempatan. Bukan soal menyesuaikan mereka pada dunia, tapi membuka dunia untuk mereka.
Ke depan, Unesa berharap model ini bisa menjadi cetak biru bagi sekolah-sekolah inklusif lainnya.
Bayangannya sederhana namun revolusioner: setiap SLB memiliki unit usaha berbasis kearifan lokal, dikelola oleh guru dan siswa, yang tak hanya menghasilkan uang, tapi juga harga diri.
Di tengah tantangan besar dalam pendidikan inklusif di Indonesia, langkah kecil di Gresik ini adalah bukti nyata bahwa perubahan bisa dimulai dari kuas, kain, dan keyakinan bahwa setiap anak—dengan atau tanpa suara—layak berkarya, berdaya, dan bersinar.
*) Penulis adalah anggota Tim Pengabdian Masyarakat dari Unesa.