BACA JUGA:5 Aktivitas Seru dan Bermanfaat yang Bisa Dilakukan saat Mengunjungi Museum
Namun, jebakan terbesar pasca-euforia ialah suatu kepuasan. Merasa pekerjaan sudah selesai merupakan sebuah kekeliruan fatal.
Validasi tersebut merupakan suatu bentuk fondasi, bukan bangunan. Pekerjaan sesungguhnya baru dimulai. Tantangan pada masa sekarang sudah bergeser dari perjuangan mendapatkan pengakuan sampai pada perjuangan mengelola ekspektasi.
Pengelolaan museum kini dituntut naik kelas. Apabila sebelumnya fokus hanya pada inventarisasi dan pelestarian fisik, fokus ke depan harus mencakup kurasi narasi, diplomasi budaya, dan pemasaran destinasi yang strategis.
Status museum daerah memberikan otoritas, tetapi otoritas tersebut harus digunakan secara cerdas. Peningkatan kualitas fasilitas seperti penyediaan akses disabilitas, perpustakaan, dan ruang laktasi sebagaimana catatan kementerian, bukan lagi sekadar pemenuhan syarat.
Semua itu merupakan bagian dari standar pelayanan global. Seorang turis dari Eropa dan peneliti dari Amerika Serikat memiliki ekspektasi dasar terhadap sebuah institusi yang menyandang nama ”museum”.
Pemenuhan standar tersebut menjadi langkah awal yang mutlak diperlukan sebelum berani mengundang dunia.
DNA KEUNIKAN: MUSEUM YANG HIDUP
Kekuatan terbesar Bondowoso terletak pada konsep ”museum terbuka”. Definisi tersebut bukan sekadar jargon. Hal tersebut merupakan sebuah realitas faktual yang menjadi DNA destinasi.
Berbeda dengan museum konvensional yang memindahkan artefak dari lokasi aslinya (konteks) ke dalam gedung (teks), Museum Megalitikum Bondowoso membiarkan sejarah tetap di tempatnya.
Koleksi megalit tidak hanya terkunci di dalam kompleks Pusat Informasi Megalit (PIM) yang sudah bertransformasi. Benda-benda cagar budaya tersebut tersebar, hidup, dan bernapas bersama komunitas.
Batu-batu kuno tersebut berada di halaman rumah penduduk, khususnya di pematang sawah. Bahkan, di area belakang fasilitas publik. Fenomena tersebut sering dilihat sebagai tantangan konservasi.
Padahal, dalam perspektif pariwisata budaya global, hal tersebut menjadi sebuah unique selling proposition (USP) yang tidak ternilai. Pengunjung internasional tidak disuguhi artefak beku di balik etalase kaca.
Pengunjung justru diajak melakukan perjalanan waktu, menyusuri lanskap budaya tempat peradaban megalit masih dihormati dan dijaga oleh masyarakat pendukungnya.
Konsep ”museum tanpa dinding” menawarkan pengalaman yang otentik. Wisatawan tidak hanya melihat dolmen dan sarkofagus. Namun, wisatawan juga dapat melihat bagaimana warisan ribuan tahun berdialog dengan kehidupan modern.
Sebuah batu kuno di pekarangan warga yang masih dirawat menceritakan kisah yang jauh lebih kuat daripada batu serupa yang dipindahkan ke podium pameran. Keunikan itulah yang harus dikemas dan dijual sebagai daya tarik utama.