Bagi pelari pemula, sebaiknya mulai dengan prinsip build slowly, recover wisely. Tingkatkan jarak dan intensitas secara bertahap, bukan karena ajakan komunitas atau tantangan media sosial. Gunakan pakaian yang sesuai kondisi cuaca, minum cukup sebelum dan sesudah berlari, serta lakukan pendinginan agar detak jantung kembali normal. Bila ingin bergabung dalam event besar, pastikan sudah melalui latihan minimal enam minggu berturut-turut dengan progres yang stabil (ACSM, 2023).
Selain aspek fisiologis, pelari perlu menjaga keseimbangan psikologis. Rasa senang dan semangat kompetitif adalah hal baik, tapi jangan sampai mengubah olahraga menjadi sumber tekanan baru.
Dalam fisiologi olahraga, keseimbangan antara motivasi dan pemulihan disebut homeostasis motivasional ketika seseorang tahu kapan harus maju dan kapan harus berhenti. Tubuh yang lelah adalah sinyal, bukan musuh.
Tren lari kalcer seharusnya menjadi gerakan sosial yang sehat, bukan kompetisi eksistensi. Komunitas lari punya peran besar dalam menanamkan literasi olahraga berbasis sains tentang pentingnya hidrasi, tanda bahaya tubuh, dan cara mencegah cedera. Makin banyak komunitas yang mengedukasi, makin aman pula budaya lari itu berkembang.
Pada akhirnya, lari tetaplah aktivitas sederhana yang mengajarkan konsistensi dan kesadaran diri. Namun, di tengah sorotan kamera dan hiruk pikuk tren. Mari ingat, tubuh bukan algoritma yang bisa disetel sesuai jadwal unggahan.
Berlarilah untuk bahagia, bukan untuk tampil sempurna. Sebab, kebugaran sejati bukan tentang siapa yang paling cepat, tetapi siapa yang paling memahami tubuhnya sendiri.
Fenomena pelari kalcer ini juga mencerminkan perubahan nilai dalam masyarakat urban. Aktivitas fisik kini dipadukan dengan estetika, teknologi, dan komunitas digital yang saling memperkuat.
Aplikasi pelacak lari, jam pintar, dan algoritma media sosial menciptakan sistem penghargaan tersendiri bagi siapa yang paling aktif dan konsisten. Dalam konteks ini, olahraga bukan lagi aktivitas individual, melainkan bagian dari ekosistem sosial yang menuntut performa dan eksposur bersamaan.
Ketika olahraga menjadi representasi identitas, keseimbangan antara motivasi intrinsik dan ekstrinsik menjadi hal yang krusial untuk dijaga.
Selain itu, tren tersebut membuka peluang riset menarik dalam bidang fisiologi olahraga dan psikologi sosial. Bagaimana tekanan sosial memengaruhi performa fisik? Apakah motivasi berbasis eksistensi mampu bertahan dalam jangka panjang?
Pertanyaan-pertanyaan itu penting dijawab agar budaya lari yang tumbuh tidak hanya ramai di permukaan, tetapi juga sehat secara ilmiah dan berkelanjutan.
Di masa depan, sinergi antara sains olahraga dan budaya populer bisa menjadi kunci untuk menciptakan generasi pelari yang bukan hanya cepat di lintasan, tetapi juga cerdas memahami tubuh dan makna dari setiap langkahnya. (*)
*) Oviesta Tasha Retyananda adalah mahasiswa doktoral ilmu keolahragaan.