Demam Lari Kalcer dan Risiko yang Tak Terlihat

Sabtu 15-11-2025,23:23 WIB
Oleh: Oviesta Tasha Retyananda*

DULU orang berlari untuk sehat, sekarang orang berlari untuk eksistensi. Dari sunrise run hingga midnight challenge, lari kini bukan sekadar olahraga, melainkan bagian dari budaya visual yang menuntut tampilan sempurna. Di setiap sudut kota, komunitas pelari tumbuh bak jamur di musim hujan lengkap dengan jersey edisi terbatas, sepatu teknologi tinggi, dan kamera yang siap menangkap setiap momen. 

Fenomena itu dikenal banyak orang sebagai pelari kalcer atau pelari culture, yaitu mereka yang berlari bukan hanya untuk kebugaran, melainkan juga untuk gaya hidup.

BACA JUGA:Sydney Marathon Masuk World Marathon Majors, Golden Rama Gelar Pre-Race Workshop untuk Bekali Pelari

BACA JUGA:AZA Luncurkan Sepatu Lari AZA Run 1, Diberi Testimoni Positif oleh Pelari Nasional!

Tren itu sebenarnya membawa sisi positif. Banyak anak muda mulai sadar pentingnya aktivitas fisik dan komunitas lari menjadi wadah sosial yang menyenangkan. Namun, di balik antusiasme itu, ada risiko fisiologis yang sering diabaikan. Banyak pelari pemula ikut tantangan ekstrem seperti midnight run atau sunrise challenge tanpa persiapan fisik dan pemahaman tentang kondisi tubuhnya. Padahal, tubuh manusia tidak selalu siap menghadapi beban panas, kelelahan, dan stres metabolis yang muncul secara tiba-tiba (WHO, 2022).

Lari di suhu panas, misalnya, meningkatkan risiko dehidrasi dan heatstroke. Saat suhu inti tubuh naik di atas 39°C, fungsi enzim metabolis terganggu dan denyut jantung meningkat tajam. Tanpa hidrasi yang cukup, darah menjadi lebih kental dan aliran oksigen ke otot menurun. Kondisi itu bisa memicu kram, pusing, bahkan kolaps. Banyak pelari kalcer yang menganggap air mineral di garis akhir sudah cukup, padahal tubuh kehilangan elektrolit penting seperti natrium dan kalium yang harus segera diganti (ACSM, 2023).

BACA JUGA:Paduan Wisata, Budaya, dan Olahraga dalam Adfuntorace 2025 Pikat Ribuan Pelari dari Berbagai Daerah

BACA JUGA:5.000 Pelari Berpartisipasi di BCA CitraLand Marathon 2024

Sebaliknya, night run atau lari malam yang kini marak di kota besar membawa tantangan lain. Aktivitas intens di waktu tubuh seharusnya beristirahat bisa mengganggu ritme sirkadian jam biologis yang mengatur hormon, metabolisme, dan kualitas tidur. Akibatnya, meski merasa bugar secara sosial, tubuh sebenarnya mengalami kelelahan tersembunyi. Gangguan pola tidur kronis dapat menurunkan fungsi imun dan daya fokus keesokan harinya (Sleep Foundation, 2023).

Fenomena itu makin menarik karena dipengaruhi kuat oleh media sosial. Banyak pelari ingin ”terlihat aktif”, alih-alih benar-benar menjaga kebugaran. Pose sebelum start, video finish line, atau unggahan hasil running app menjadi bentuk baru dari validasi sosial. Tidak salah, tapi ketika orientasi bergeser ke arah pencitraan, risiko cedera dan kelelahan kronis meningkat. Rasa ingin tampil kadang mengalahkan rasa ingin sehat (APA, 2021).

Masalah lain muncul dari minimnya literasi fisiologi olahraga di komunitas lari. Banyak orang tahu sepatu yang sedang tren, tetapi belum tentu tahu cara menghitung denyut jantung maksimal atau memahami tanda-tanda overtraining

BACA JUGA:Konsumsi Gula yang Tepat, Hasilkan Energi Maksimal untuk Pelari

BACA JUGA:SOHM 2024: Ribuan Pelari Bikin Seru Pakuwon City!

Padahal, memahami sinyal tubuh adalah bentuk perlindungan paling dasar bagi pelari. Tubuh yang kelelahan akan memberikan sinyal jelas: pusing, mual, atau nyeri dada. Namun, itu sering diabaikan demi menyelesaikan rute yang sudah direncanakan.

Olahraga lari memang sederhana, tetapi dampaknya pada tubuh tidak sesederhana langkah kaki yang diambil. Saat seseorang berlari, sistem kardiovaskular, pernapasan, dan termoregulasi bekerja bersamaan menjaga keseimbangan suhu dan energi. Ketika salah satu sistem itu terganggu, misalnya, karena kekurangan cairan atau latihan berlebihan, risiko kesehatan meningkat. Oleh karena itu, pemahaman dasar tentang latihan, hidrasi, dan istirahat menjadi kunci (Nieman, 2022).

Kategori :