Ketika Penyidikan Kuota Haji Menjadi Labirin

Rabu 19-11-2025,04:33 WIB
Oleh: Ulul Albab*

Konteksnya sangat relevan dengan kuota tambahan haji 2024, yaitu ketika Arab Saudi tiba-tiba memberikan kuota tambahan dalam waktu yang sangat singkat menjelang pemberangkatan.

Apa yang harus dilakukan menteri agama saat itu? Menunggu payung hukum baru yang tentu tak mungkin terbit dalam hitungan hari atau mengambil keputusan cepat agar puluhan ribu jamaah Indonesia tidak kehilangan kesempatan suci? Itulah esensi diskresi: keputusan dalam kondisi luar biasa untuk kepentingan publik.

KETIKA DISKRESI DIPERIKSA LAYAKNYA DELIK

Masalah muncul ketika diskresi administratif itu diperiksa dengan logika hukum pidana. Padahal, secara teoretis dan normatif, yang berwenang menilai apakah diskresi itu sah atau tidak adalah pengadilan tata usaha negara (TUN), bukan lembaga penegak hukum pidana.

BACA JUGA:Biro Travel Haji di Seluruh Indonesia Jadi Sasaran KPK, Imbas Korupsi Kuota Haji

BACA JUGA:Dalami Jual Beli Kuota Haji, KPK Panggil Bos-Bos Travel di Jawa Timur

KPK memang punya mandat besar untuk menindak korupsi. Namun, ketika wilayah administratif –yang lahir dari pertimbangan cepat, dinamis, dan publik– diperlakukan seolah tindak pidana, di situlah terjadi pergeseran tafsir kekuasaan hukum. Diskresi yang seharusnya dinilai berdasar asas kepentingan umum justru ditarik ke ruang niat jahat.

Padahal, tidak semua keputusan cepat itu salah dan tidak semua kesalahan administratif itu kriminal. Negara yang terlalu takut mengambil keputusan akan berakhir menjadi negara yang mandek dalam birokrasi. 

”Keadilan tidak lahir dari ketakutan mengambil keputusan, tetapi dari kejujuran dalam menimbang niat dan akibat.”

BACA JUGA:DPR Komisi III Desak KPK Segera Tetapkan Tersangka Kasus Korupsi Kuota Haji

BACA JUGA:KPK Tegaskan Tanpa Intervensi Tangani Kasus Kuota Haji

APRESIASI YANG TETAP HARUS DIBERI

Di sisi lain, kita tentu perlu tetap memberikan apresiasi kepada KPK.

Lembaga itu lahir dari semangat moral yang tinggi: menjaga integritas dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. 

Dalam banyak kasus, KPK adalah benteng harapan publik. Namun, justru karena besarnya kepercayaan itu, KPK harus lebih berhati-hati agar tidak berubah menjadi alat tekanan terhadap kebijakan administratif.

Sebab, bila diskresi selalu dicurigai, pejabat publik akan berpikir seribu kali sebelum berani mengambil keputusan dalam keadaan darurat. Akibatnya, pelayanan publik bisa macet dan kecepatan pemerintahan yang diharapkan publik akan hilang.

Kategori :