Wacana menggunakan aset sitaan hasil korupsi sebagai sumber pembiayaan pendidikan telah menjadi perbincangan hangat di ruang publik. Ide yang digulirkan oleh Presiden Prabowo Subianto ini mendapat respons positif dari masyarakat.
Ide ini merupakan langkah strategis yang patut didukung. Namun, kita perlu memberi catatan kritis terkait tata kelola dan transparansi agar manfaatnya tidak tergerus oleh praktik korupsi baru.
Ide menggunakan uang hasil kejahatan untuk mencerdaskan generasi adalah langkah politik dan komunikatif yang brilian. Hal ini menegaskan pesan bahwa kejahatan tidak akan pernah menghasilkan keuntungan bagi pelakunya.
BACA JUGA:Reformasi Substantif Polri
Namun, bisa menjadi sumber kebaikan bagi rakyat. Upaya ini membangun legitimasi simbolik yang sangat dibutuhkan.
Di tengah euforia solusi itu, kita tidak boleh lengah. Indonesia memiliki trauma kolektif terhadap korupsi. Proyek semulia apa pun bisa terancam jika tata kelolanya bobrok.
Mengubah uang hasilnkejahatan menjadi dana pendidikan adalah permulaan, menjamin dana itu tidak disalahgunakan adalah ujian integritas yang sesungguhnya.
Legitimasi Simbolik
Ide pemanfaatan aset koruptor untuk pendidikan bukanlah semata kebijakan fiskal. Hal ini menjadi sebuah aksi komunikasi politik yang cerdas dan berupaya membangun kembali kepercayaan publik.
Korupsi telah lama menggerogoti legitimasi negara di mata rakyat. Alih-alih hanya berfokus pada penindakan (aspek hukum), pemerintah menawarkan sebuah tindakan yang restoratif dan konstruktif (aspek manfaat publik).
Dalam perspektif ilmu komunikasi politik, langkah ini menjadi praktik nyata legitimasi simbolik. Pemikir politik terkemuka Murray Edelman (1964) menyatakan, “Legitimation is primarily a communicative process where actors seek to justify their power and decisions to relevant audiences by drawing on shared values and norms.”
Jaksa Agung menyerahkan uang pengganti kerugian negara sebesar Rp13,255 triliun hasil tindak pidana korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO) kepada perwakilan Kementerian Keuangan di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin 20 Oktober.--Sekretariat Presiden
Presiden telah melakukan reframing simbolik yang sangat kuat melalui ide mengalokasikan hasil kejahatan ini secara eksplisit untuk pendidikan (mencerdaskan kehidupan bangsa). Uang kotor (aset koruptor) secara simbolis disucikan untuk membiayai sektor suci (pendidikan).
Tindakan ini bisa saja secara instan meningkatkan legitimasi pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Ini disebabkan perjuangan mengejar uang koruptor kini memiliki tujuan akhir yang mulia dan jelas.
Manfaatnya, seperti pembangunan sekolah atau beasiswa, menjadi terasa secara langsung dan niscaya (tangible benefit) oleh publik.
Tantangan Tata Kelola
Dukungan terhadap ide yang memiliki nilai komunikasi politik tinggi ini harus beriringan dengan kesadaran akan tantangan tata kelola yang masif. Sejarah pemulihan aset di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa proses penyitaan, penilaian, hingga alokasi dana sangat rentan terhadap penyimpangan.