Bagaimanapun, kita tidak memandang kekerasan pelaku laki-laki dan pelaku perempuan secara sama.
Pelaku perempuan sering kali distereotipekan secara kejam oleh media massa dan mereka –beserta korbannya– dapat diperlakukan dengan buruk oleh sistem peradilan pidana.
Quarmby: ”Kita harus bergerak menuju pemahaman yang lebih progresif tentang apa yang membuat seorang perempuan menyakiti atau membunuh.”
Di masa lalu, kekuatan dan kekerasan perempuan diakui dan bahkan dirayakan. Pejuang perempuan seperti Joan of Arc, Boudicca, dan para pejuang Amazon menjadi ikon.
Perempuan di masyarakat Barat dan non-Barat sering mengambil peran utama dalam militer. Perempuan telah membuktikan bahwa mereka mampu menggunakan kekerasan dengan cara yang tampaknya menunjukkan pilihan dan agensi –terkadang dengan cara yang keji.
Misalnya, Nazi melatih setengah juta perempuan untuk dinas militer. Dan, sekitar 3.500 di antaranya bertugas sebagai penjaga kamp konsentrasi. Sebagai pembunuh massal.
Quarmby: ”Pada 1997, ketika saya pertama mengunjungi Rwanda (Afrika Tengah), tiga tahun setelah genosida di sana, saya dikejutkan oleh betapa banyak perempuan yang terlibat sebagai pengamat, penghasut, dan bahkan tokoh kunci dalam genosida –sama dengan yang mereka lakukan dalam Holocaust di Jerman.”
Sejak tahun 1970-an, fokus tertuju pada kekerasan laki-laki terhadap anak perempuan dan perempuan dewasa.
Hal itu, dalam banyak hal, telah menggeser kerangka kerja penggambaran kekerasan –terutama kekerasan dalam rumah tangga dan hubungan intim– menjadi kerangka kerja yang sebagian besar berkaitan dengan gender.
Hal itu tidak mengherankan lantaran kesenjangan gender dalam kejahatan yang tercatat sudah diketahui secara luas.
Namun, hal tersebut tidak berarti bahwa pelaku kejahatan perempuan tidak ada –dan bagaimana mereka diperlakukan telah menjadi bagian penting dalam penelitian kriminologi.
Jumlah perempuan di penjara Inggris dan Wales naik hampir tiga kali lipat pada 1993 hingga 2005. Meski jumlah tersebut kini menurun, masih terdapat lebih dari 2.000 perempuan di balik jeruji besi saat ini jikka dibandingkan dengan tahun 1990-an, dan perempuan merupakan sekitar 5 persen dari populasi penjara.
Dalam studi yang diterbitkan di Middle East Quarterly –yang mengkaji kasus-kasus di mana perempuan terlibat dalam pembunuhan ”demi kehormatan”– ditemukan bahwa perempuan merupakan konspirator sekaligus pembunuh langsung dalam kejahatan brutal terhadap perempuan lain.
Baroness Helena Kennedy Q.C., pengacara terkemuka pemimpin penyelidikan perdagangan manusia di Skotlandia, mengatakan bahwa beberapa perempuan dalam perdagangan tersebut ”bersikap kejam terhadap perempuan lain. Dalam banyak kasus, perempuan menjadi manajerial kekerasan”.
Jadi, sebenarnya sama saja antara laki-laki dan perempuan dalam tindak kekerasan. Walaupun, jumlah pelaku perempuan masih lebih kecil daripada pelaku laki-laki. (*)