Sayang, idealisasi itu perlahan menjelma menjadi romantisme yang membekukan peran guru. Mereka dipuji setinggi langit, tetapi tidak diberi ruang yang cukup layak untuk berdiri dengan martabat profesionalnya.
Kita sering menuntut guru menjadi penyelamat, tetapi jarang memberikan dukungan struktural agar mereka mampu menjalankan perannya dengan baik.
Itulah paradoks yang terus berulang: kita mengucapkan terima kasih, tetapi membiarkan sebagian guru honorer bertahun-tahun bekerja tanpa kepastian status.
Kita merayakan Hari Guru, tetapi masih banyak yang harus mengajar dalam keterbatasan fasilitas, kurikulum yang berubah cepat, dan tuntutan administratif yang menumpuk.
Kita menyanyikan ”namamu akan selalu hidup dalam sanubariku”, tetapi sanubari itu tidak terhubung dengan kebijakan yang menjamin kesejahteraan mereka. Yang tertinggal adalah penghargaan seremonial, bukan penghargaan substantif.
Baris ”semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku” semestinya tidak berhenti sebagai ungkapan sentimental. Ukiran itu harus menjelma dalam kebijakan nyata, aksi nyata, dan komitmen kolektif.
Mengukir bakti guru dalam hati berarti menciptakan ruang kelas yang layak, bukan sekadar memuji mereka dalam upacara tahunan. Menghidupkan nama guru dalam sanubari berarti memberikan pelatihan yang relevan, tidak malah membebani mereka dengan birokrasi.
Ungkapan itu baru bermakna jika diwujudkan dalam sistem yang adil, berkelanjutan, dan berpihak kepada martabat guru.
Perubahan lirik dari ”tanpa tanda jasa” menjadi ”pembangun insan cendekia” adalah langkah besar dalam memperbarui cara pandang kita.
Istilah tanpa tanda jasa memang puitis, tetapi kerap menjerumuskan profesi guru pada imajinasi bahwa pengabdian adalah kewajiban yang tidak perlu diberi penghargaan layak.
Padahal, jasa guru sangat nyata dan menentukan arah bangsa. Menyebut mereka pembangun insan cendekia berarti mengakui posisi guru sebagai arsitek intelektual dan moral generasi mendatang.
Itu bukan sekadar perubahan frase, melainkan juga perubahan paradigma: guru bukan lagi sosok yang bekerja dalam bayang-bayang pengorbanan tanpa imbalan, melainkan profesional strategis yang membentuk masa depan bangsa.
Jika bangsa ini sungguh ingin menghidupkan nama guru dalam sanubari, penghargaan harus diwujudkan dalam hal-hal konkret. Profesionalisme guru perlu diperkuat melalui pelatihan yang relevan, mendalam, dan berkesinambungan.
Kesejahteraan guru harus dipastikan agar mereka dapat mengajar tanpa kecemasan hidup. Suara guru harus didengar dalam penyusunan kebijakan pendidikan. Fasilitas sekolah harus diperbaiki agar mereka dapat mengajar dalam lingkungan yang memadai.
Yang paling penting, masyarakat harus berhenti memandang guru semata-mata sebagai pengabdi. Mereka adalah profesional yang memiliki keahlian dan tanggung jawab besar.
Dalam kehidupan setiap orang, selalu ada guru yang namanya hidup jauh lebih lama daripada masa belajar itu sendiri. Ada guru yang mengubah cara kita memandang dunia, yang menyalakan keberanian, atau yang memperlihatkan bahwa kesalahan bukan akhir, melainkan awal dari pemahaman.