SETIAP 25 November bangsa ini kembali diingatkan pada satu kebenaran yang sering luput dari perhatian: pendidikan Indonesia berdiri di atas ketekunan, kesabaran, dan pengabdian para guru.
Hari Guru Nasional bukan sekadar perayaan, melainkan juga refleksi tentang seberapa jauh kita menghargai profesi yang menjadi fondasi bagi lahirnya setiap ilmuwan, pemimpin, seniman, dan warga negara yang melek nilai.
Dalam gema himne guru, dua larik yang paling menyentuh selalu menggema: ”Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku. Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku”.
BACA JUGA:Guru sebagai Arsitek Peradaban
BACA JUGA:Mendikdasmen Naikkan 150 Ribu Kuota Beasiswa Guru dan Tunjungan Honorer di 2026!
Kalimat itu indah, puitis, dan penuh rasa terima kasih. Namun, justru di balik keindahan itulah tersimpan ironi: penghargaan kita kepada guru sering berhenti pada kata-kata, bukan tindakan.
Ungkapan tersebut mencerminkan rasa hormat yang tulus. Banyak dari kita tumbuh bersama kenangan tentang guru yang baik hati, yang mengajarkan huruf pertama, mengenalkan disiplin, memupuk cita-cita, dan menuntun kita memahami nilai kesabaran.
Tidak sedikit murid yang mengingat guru sebagai tempat pulang setelah kegagalan, sebagai sosok yang tetap percaya ketika dunia tidak ramah. Dalam level personal, guru memang hidup dalam sanubari kita.
BACA JUGA:5 Tantangan Profesi Guru di Tahun 2025
BACA JUGA:Hari Guru Nasional 25 November, Sejarah, Tema, dan Susunan Upacara Resmi
Namun, dalam level sosial dan kebijakan negara, apakah penghargaan itu benar-benar hidup? Pertanyaan itu penting diajukan. Sebab, penghormatan personal sering kali jauh lebih kuat daripada penghormatan struktural.
Kita mengenang nama-nama guru terkasih, tetapi negara belum selalu menjaga martabat profesinya.
Selama bertahun-tahun, guru diposisikan sebagai pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk dalam kehausan. Metafora-metafora luhur itu membangun gambaran ideal tentang guru sebagai sosok penuh dedikasi, penjaga moral, dan penuntun kehidupan.
BACA JUGA:Misteri Kematian Guru SMPN 46 OKU, Sumsel: Teka-teki Sarung Tangan
BACA JUGA:Motif Pembunuhan Guru Muda SMPN 46 OKU: Gegara Pelaku Batuk