Dalam penjelasannya, Zulhas juga menyinggung akar persoalan kerusakan hutan yang menurutnya berkaitan dengan kewenangan daerah yang terlalu longar pada awal penerapan otonomi.
Bupati, kata dia, memiliki ruang besar dalam menerbitkan izin kebun dan tambang.
“Kebun-kebun itu dulu bupati bisa kasih izin. Tambang juga. Itu kewenangan mereka. Zaman saya baru sistemnya konkuren, harus bareng-bareng dengan gubernur. Tapi kerusakannya sudah terjadi sejak lama,” jelasnya.
Ia mencontohkan kasus di Sumatera Utara, di mana 40.000 hektare kawasan hutan lindung telah berubah menjadi kebun sawit.
Meski proses hukumnya selesai dan para pelakunya telah dipidana, namun negara tetap kesulitan mengambil kembali lahan tersebut.
“Sudah masuk penjara, sudah dinyatakan bersalah, tapi lahannya tidak bisa saya ambil. Baru sekarang bisa, setelah ada Satgas yang dipimpin Menhan,” tegasnya.
BACA JUGA:Operasi Modifikasi Cuaca di Sumatera Berlangsung 24 Jam, Permudah Evakuasi dan Distribusi Bantuan
BACA JUGA:ASDP Tetap Beroperasi di Tengah Cuaca Ekstrem, Mobilitas dan Bantuan Logistik ke Sumatera Terjaga
Di akhir sesi podcast, Zulhas turut menyinggung bencana alam yang menimpa Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Ia mengatakan telah menerima instruksi langsung untuk mempercepat distribusi bantuan pangan.
“Pak Presiden pasti langsung perintah. Tidak boleh ada yang terlambat. Tidak ada rapat-rapat, semua harus selesai di lapangan,” ungkapnya terang-terangan.
Persepsi keterlambatan bantuan kerap muncul karena terhambat kondisi geografis. Banyak akses jalan rusak dan terputus sehingga bantuan darat tidak bisa masuk.
“Aceh dan Sumatera Utara banyak jalannya putus. Kalau lewat darat tidak bisa, lewat laut lama, lewat udara terbatas. Mungkin itu yang membuat kesannya lambat,” pungkasnya. (*)
*) Mahasiswa magang Prodi Sastra Inggris dari Universitas Negeri Surabaya