HARIAN DISWAY - Perempuan punya hubungan yang sangat dekat dengan alam. Istilah Ibu Bumi, Ibu Pertiwi, merujuk pada eratnya koneksi perempuan (ibu) sebagai pelantar kehidupan dengan alam sekitarnya.
Konsep tersebut melatari lahirnya ekofeminisme. Dalam rangka peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKtP), Akar Kuning menggugah kembali semangat ekofeminisme itu lewat bedah buku.
Senjata Kami adalah Upacara Adat menjadi bahasan dalam acara yang berlangsung secara hybrid tersebut pada Minggu, 30 November 2025. Selain di Zoom, pertemuan berlangsung di Aula Pokja 30, Kalimantan Timur.
Akar Kuning merupakan kelompok kajian literasi yang bergerak di bidang ekofeminisme dari Samarinda. Dalam bedah buku itu, Siti Maimunah hadir sebagai pembahas. Dia sekaligus adalah penulis dan editor buku tersebut.
BACA JUGA:Titimangsa Rilis Buku Antologi Naskah Monolog Di Tepi Sejarah, Hadirkan Happy Salma dan Ahda Imran
BACA JUGA:Bedah Buku Pater Fritz Meko: Kembara Pikiran, Catatan Harian Seorang Imam Katolik
Hadir dalam bedah buku Senjata Kami adalah Upacara Adat itu perwakilan dari Mama Aleta Fund, Yayasan Bumi, dan Aliansi Diskusi.
Buku yang rilis pada 2025 itu memuat suara lima pejuang perempuan dalam melawan segala kegiatan yang menimbulkan kerusakan alam dan perampasan lingkup kehidupan bangsa.
“Mereka harus menghadapi situasi yang menggambarkan kenyataan bahwa alamnya sedang dihancurkan,” ujar perempuan yang dipanggil Mai itu saat dihubungi Harian Disway pada Selasa, 2 Desember 2025.
Salah satu sosok yang Mai sebutkan adalah Mardiana Deren. Perempuan Dayak Ma'anyan itu berjuang keras menjaga hutan di tanah leluhurnya dari perluasan tambang batu bara.
BEDAH BUKU HYBRID Senjata Kami adalah Upacara Adat di zoom meeting pada Minggu, 30 November 2025. - Ilmi Bening - Tangkapan layar Zoom meeting
BACA JUGA:Genap 17 Tahun, Elena Hendropurnomo Luncurkan Buku Kumpulan Puisi Citrus Society
BACA JUGA:5 Buku Inspiratif yang Bisa Menemani Saat Butuh Ketenangan
Ada juga Aleta Baun, perempuan adat Mollo yang berusaha melindungi hutan di Pegunungan Mutis dari penebangan batu marmer yang dilakukan oleh perusahaan tambang.
Aleta buka suara karena pejabat setempat menyetujui kegiatan penebangan di pegunungan tersebut secara ilegal. Keputusan itu diambil sepihak tanpa berembuk dengan masyarakat desa.