Hatma Suryatmojo, peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS Universitas Gadjah Mada (UGM), menyebut peristiwa itu bencana akibat ulah manusia sendiri.
“Curah hujan memang sangat tinggi kala itu, BMKG mencatat beberapa wilayah di Sumut diguyur lebih dari 300 mm hujan per hari pada puncak kejadian. Namun, cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal. Sesungguhnya, peristiwa itu diperparah oleh rapuhnya benteng alam di kawasan hulu,” paparnya.
Mai pun mengungkapkan, materi yang dituliskan di buku terdiri atas refleksi terhadap alam, profil dari kelima perempuan tadi, termasuk mantra yang berbunyi, “Kami tidak akan menjual apa yang tidak bisa kami buat”.
Mantra itu menjadi slogan khusus bahwa masyarakat lokal tidak akan menjual tanah, sungai, atau gunung. (*)