BACA JUGA:Profil Toba Pulp Lestari, Perusahaan Kertas yang Dituding Pemicu Banjir Bandang Sumatra
BACA JUGA:TNI AD Kirim Kapal ADRI XCII-BM ke Sumatra, Muat 88 Ton Bantuan Logistik
Fakta itu pun menunjukkan lemahnya basis data perizinan, pemetaan wilayah hutan, dan pengawasan yang seharusnya mampu mendeteksi aktivitas ilegal jauh sebelum bencana terjadi.
Dugaan pembalakan liar kembali mencuat setelah Anies Baswedan mengkritik akar persoalan kerusakan hutan dalam pusaran bencana.
“Bisa dicek sendiri bahwa semua yang terjadi hari ini adalah efek dari kebijakan-kebijakan merusak hutan yang dibuat di masa lalu,” ujarnya.
Menurutnya, istilah “bencana alam” tidak tepat. Alam hanya menjalankan hukumnya. Sebab, manusia lah yang merusak.
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa kerusakan lingkungan bukan fenomena alamiah, tetapi konsekuensi dari pilihan politik yang memberi ruang bagi ekspansi industri ekstraktif, perizinan terbuka, serta minimnya penegakan hukum terhadap pelanggaran kehutanan.
BACA JUGA:UPDATE Banjir Sumatra: Akses Darat Dibuka Bertahap, Distribusi Bantuan Dipercepat ke Tamiang
BACA JUGA:Walhi: Jawa Barat Terancam Banjir Bandang dan Longsor dengan Skala seperti Sumatra
Namun ahli dari IPB mengingatkan publik untuk tidak terburu-buru menyimpulkan.
“Bisa jadi kayu itu berasal dari penebangan lama, pohon tumbang alami, atau sisa land clearing yang tidak tuntas dibersihkan,” jelas Prof. Dodik Ridho Nurochmat, pakar kebijakan hutan.
Dodik menegaskan perbedaan kayu tebangan dan kayu tumbang alami dapat dilihat dari bekas potongannya.
“Kayu hasil tebangan biasanya punya bekas gergaji yang rapi. Sementara kayu tumbang alami retaknya tidak beraturan,” ujarnya.
Meski demikian, Dodik menekankan bahwa bencana di Sumatra adalah kombinasi dua faktor: ekstremnya curah hujan dan kerusakan tutupan hutan akibat ulah manusia.
“Penurunan tutupan hutan harusnya menjadi alarm nasional,” tegasnya.
Pandangan tersebut memperkuat kritik bahwa bencana ekologis di Indonesia bukan sekadar peristiwa alam, melainkan produk risiko yang dibentuk oleh ketimpangan tata ruang, eksploitasi lingkungan, dan pengabaian panjang terhadap pengawasan hutan.