“Jadi aku juga berharap bahwa sashiko yang menutupi kain itu juga bisa menutup hal yang kosong dalam diri mereka. Bisa memperbaiki apa yang mungkin rusak atau hilang dalam diri mereka,” kata Herina, mahasiswi DFT UK Petra yang merupakan salah satu fasilitator acara Sabtu sore itu.
Lebih lanjut, dia menyampaikan bahwa tujuannya belajar teknik sashiko adalah untuk menjadikan fashion sebagai media penyembuhan, sekaligus sarana perempuan dalam mengekspresikan suaranya.
BACA JUGA:Cara Menjaga Kesehatan Mental di Era Media Sosial
Sore itu, Vonny dan tim Savy Amira sibuk beraktivitas bersama 10 peserta. Sepanjang workshop, instrumentalia menemani. Para peserta menjadi lebih konsentrasi menghadapi kain dan jarum serta benang di tangan mereka.
Sembari berkreasi, mimik para peserta berubah-ubah. Sore itu, mereka hanyut dalam proses menyulam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Salah satu peserta, Lailatun Nasukha, menceritakan kreasinya kepada Harian Disway. Ada dua kain di hadapannya. Kain pertama berhias mata yang sendu dan berlinang air mata berwarna merah darah.
Pada kain kedua, dia menggambarkan bunga lili. "Lili ini identik dengan perempuan. Bunga lily melambangkan kemurnian, keanggunan, dan kehidupan baru," ungkapnya.
BUNGA LILI dan mata yang menangis karya Lailatun Nasukha dalam workshop We Knit Your Voice di Spazio Tower. -Sindhy Nurhaliza-Harian Disway
BACA JUGA:Seni sebagai Terapi, Ekspresi Diri untuk Kesehatan Mental
BACA JUGA:Bloom Therapy, Bunga sebagai Sumber Kebahagiaan dan Energi Positif
Emosi, menurut Laila, juga berkaitan dengan perempuan. "Perempuan kan sering dikaitkan dengan emosi yang berlebih. Jadi antara bunga sama mata ini kayak sangat berkaitan dengan perempuan," ucapnya terharu.
Sashiko bagi Laila menjadi media untuk menyuarakan cerita yang tak dapat dia ungkapkan lewat kata-kata. Dengan merajut benang, dan menapaki pola yang dibuatnya, Laila menjahit ulang bagian dari dirinya yang dia ingin didengar oleh orang lain. (*)
*) Reporter Magang Kemenaker RI