Ketika lingkungan berubah, ketika alam dijauhkan, ketika relasi sosial dipercepat, dan bahasa pun berubah. Pantun tersingkir bukan karena kalah indah, melainkan karena kalah cepat.
Ironisnya, pantun masih diajarkan di sekolah. Tapi, sering kali hanya sebagai materi hafalan. Anak diminta membuat pantun, tapi tidak diajak memahami mengapa pantun diciptakan. Pantun dijadikan tugas, bukan nilai.
Padahal, di dalam pantun tersimpan pendidikan karakter yang konkret. Tentang kesabaran. Tentang empati. Tentang kemampuan menyampaikan kritik tanpa merusak hubungan.
Sekolah hari ini sibuk mengejar kompetensi. Pantun mengajarkan kebijaksanaan. Dua hal yang seharusnya berjalan bersama, tapi sering dipisahkan.
Pantun sering dianggap kalah oleh media sosial. Padahal, media sosial justru memberikan panggung baru. Pantun pendek, ritmis, dan mudah diingat. Ia sebenarnya cocok dengan dunia digital.
Masalahnya bukan pada medianya, melainkan pada etos berbahasanya. Jika media sosial diisi dengan amarah, pantun akan tenggelam. Tapi, jika diisi dengan refleksi, pantun bisa kembali menemukan rumahnya.
Beberapa kreator mulai menggunakan pantun untuk kritik sosial, politik, dan pendidikan. Itu tanda baik. Pantun tidak mati. Ia hanya menunggu penutur yang mau berpikir sebelum berbicara.
Di sinilah peran penting para akademisi, khususnya di bidang linguistik kebudayaan. Pantun tidak cukup dipuji sebagai warisan. Ia perlu dikaji sebagai praktik sosial.
Pantun perlu dibedah siapa yang berbicara, dalam konteks apa, nilai apa yang dinegosiasikan, dan kepentingan apa yang tersembunyi di balik keindahan bahasa. Dengan begitu, pantun tidak berhenti sebagai nostalgia, tetapi menjadi alat membaca masyarakat.
Ketika budi bahasa menipis, tugas akademisi tidak hanya mencatat, tapi juga mengingatkan. Pantun telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia. Tapi, pengakuan internasional tidak otomatis menjamin keberlanjutan. Yang menjamin hanyalah praktik sehari-hari.
Bangsa ini tidak kekurangan kata. Kita kekurangan kearifan dalam memilih kata. Pantun mengajarkan bahwa identitas bangsa bukan hanya soal simbol, melainkan soal kebiasaan berbahasa. Cara kita bercanda. Cara kita menegur. Cara kita berbeda pendapat.
Jika semua itu dilakukan dengan kasar, yang hilang bukan hanya pantun, melainkan juga jati diri.
Merayakan Hari Pantun Nasional seharusnya bukan seremoni kosong. Ia adalah momen refleksi. Tentang bahasa kita hari ini. Tentang budi bahasa yang mulai menipis. Pantun tidak meminta kita kembali ke masa lalu.
Ia hanya mengingatkan bahwa ada cara lain untuk menjadi manusia modern tanpa kehilangan kesantunan. Empat baris memang singkat. Tapi, di sanalah kita belajar menahan diri. Belajar berpikir. Belajar menghormati.
Di tengah dunia yang makin keras, pantun adalah pengingat bahwa yang halus justru yang paling kuat. Jika pantun benar-benar hilang dari kehidupan kita, yang hilang bukan sekadar sastra.
Yang hilang adalah kemampuan kita untuk berbicara sebagai manusia yang beradab. Dan, itu jauh lebih berbahaya. (*)