ADA MASA ketika orang Indonesia belajar berbicara sebelum belajar bersuara. Belajar memilih kata sebelum belajar meninggikan nada. Masa itu tidak ditandai oleh buku tebal atau kurikulum rumit. Cukup empat baris. Dua sampiran. Dua isi. Namanya pantun.
Pantun bukan sekadar permainan rima. Ia adalah sekolah budi bahasa paling tua yang kita miliki. Tanpa gedung. Tanpa ijazah. Namun, lulusannya tahu cara menasihati tanpa melukai, mengkritik tanpa memaki, dan bercanda tanpa merendahkan.
Tanggal 17 Desember diperingati sebagai Hari Pantun Nasional. Banyak yang merayakannya dengan lomba, unggahan media sosial, atau sekadar saling berbalas pantun. Tidak salah. Tapi, ada satu pertanyaan yang jarang diajukan, yaitu mengapa pantun terasa makin jauh dari kehidupan kita sehari-hari?
BACA JUGA:Dua Petinggi Ormas Keagamaan Indonesia Sindir Politik Dinasti di Tanah Air Lewat Pantun dan Kelakar
BACA JUGA:Carmen Hearts2Hearts Bikin Pantun Ubur-Ubur Ikan Lele, Ini Reaksi Fans Internasional
Jawabannya mungkin sederhana, tapi menyakitkan. Sebab, budi bahasa kita ikut menipis. Pantun lahir dari kebudayaan lisan. Ia hidup di tengah masyarakat yang sangat menjaga hubungan sosial. Di kampung, satu kata bisa berdampak panjang.
Maka, bahasa harus diatur, ditimbang, dan dibungkus. Sampiran dalam pantun bukan hiasan kosong. Ia melatih kesabaran berbahasa. Jangan langsung ke inti. Jangan buru-buru menohok. Beri jalan. Beri pengantar. Baru sampaikan maksud.
Pantun mengajarkan bahwa yang penting bukan hanya apa yang disampaikan, melainkan bagaimana menyampaikannya. Dalam masyarakat tradisional, cara berbicara sering lebih menentukan daripada isi bicara.
Hari ini logika itu terbalik. Isi dianggap segalanya. Cara bicara dianggap remeh. Yang penting viral. Yang penting keras. Yang penting menang. Pantun tidak cocok dengan mental seperti itu.
Coba dengarkan percakapan kita hari ini. Di media sosial, di forum publik, bahkan di ruang akademik. Bahasa sering kali kehilangan kesantunannya. Kritik berubah menjadi caci. Perbedaan pendapat berubah menjadi serangan personal. Kita menyebutnya keterbukaan.
Padahal, sering kali itu hanya ketidaksabaran berbahasa. Pantun berdiri di posisi sebaliknya. Ia mengajarkan bahwa tidak semua kebenaran harus diteriakkan. Ada kebenaran yang cukup dibisikkan lewat metafora.
Itulah yang membuat pantun terasa ”kuno”. Bukan karena ia tertinggal zaman, tetapi karena ia menuntut kedewasaan. Dan, kedewasaan memang tidak populer.
PANTUN SEBAGAI CERMIN BUDAYA
Bagi kajian linguistik kebudayaan, pantun adalah cermin yang jujur. Dari pantun, kita bisa membaca bagaimana masyarakat memandang alam, hubungan sosial, gender, kekuasaan, bahkan konflik.
Pantun Melayu mengambil banyak sampiran dari laut, perahu, angin, dan ikan. Pantun agraris mengambil sawah, padi, hujan, dan burung. Artinya jelas: bahasa lahir dari pengalaman hidup. Budi bahasa tidak jatuh dari langit. Ia tumbuh dari interaksi manusia dengan lingkungannya.