Hujan Tidak Bersalah, Hutanlah Yang Kehilangan Tanah

Sabtu 20-12-2025,23:37 WIB
Oleh: Devy Oki Apriliyani*

Deforestasi di Sumatera bukan cerita bohong. Reuters menyebutkan bahwa sejak 2001, Sumatera kehilangan sekitar 4,4 juta hektare tutupan hutan. Hutan primer ditebang untuk perkebunan. Lereng gunung digunduli untuk dijadikan lahan tambang. 

Di setiap printed newsletter Greenpeace Indonesia yang penulis terima sebagai donatur Greenpeace, terpampang nyata laporan lapangan tentang ekspedisi mereka ke hutan-hutan yang sudah habis dibabat. 

Ditampilkan pula foto-foto udara yang menampakkan betapa lebar ”luka” di bumi Sumatera, hingga catatan investigasi tentang konsesi, izin, dan pembukaan lahan yang seperti tak ada habisnya. 

Setiap pohon yang tumbang mencabut sedikit kekuatan bumi untuk bertahan. Dengan begitu, ketika hujan turun, tanah tidak punya lagi akar untuk berpegangan.

Bahasa pejabat negara selama bencana ini memperlihatkan betapa kuatnya peran wacana dalam bencana ekologis. Terjadi shifting blame, yaitu upaya meminimalkan tanggung jawab manusia dan pemerintah terhadap kerusakan ekologis. 

Bahasa menjadi tameng untuk berlepas dari kepedulian dan cermin nirempati. Seolah-olah bencana datang begitu saja dari langit, bukan akibat dari kebijakan pemerintah, bukan dari pembiaran atau ketidakpedulian, dan bukan dari perampasan hutan.

Belum diungkapkan secara nyata bahwa bencana banjir dan longsor ini merupakan konsekuensi dari kebijakan yang tidak pernah benar-benar berpihak kepada alam. 

Banjir yang lahir dari akibat hutan yang ditebang secara masif, sungai dipersempit, dan gunung yang digerus. Kemudian, longsor dapat timbul dari deforestasi dan lemahnya pengawasan terhadap pembukaan lahan baru untuk industri. 

REKOMENDASI SOLUSI

Saat ini kita butuh lebih dari sekadar evakuasi dan bantuan darurat. Untuk keluar dari lingkaran bencana agar tidak terus berulang, ada tiga langkah yang perlu dikerjakan tanpa terperangkap dalam wacana cuaca dan musibah alam. 

Pertama, audit menyeluruh terhadap seluruh izin konsesi lahan dan hutan. Audit itu tidak hanya memeriksa dokumen, tetapi juga membongkar relasi kuasa antara pemilik modal, pejabat yang memberi izin, dan jejak ekologis yang ditinggalkan di setiap hektare hutan yang lenyap. Transparansi sangat diperlukan dalam hal ini.

Kedua, pemerintah perlu menegakkan moratorium pembukaan hutan di daerah yang secara geologis tidak seharusnya disentuh alat berat. Moratorium itu diharapkan mampu memutus logika pembangunan yang menganggap hutan sebagai lahan kosong tanpa nilai ekologis dengan ekosistem sekitarnya.

Ketiga, rehabilitasi hutan yang serius dan berkelanjutan. Pohon-pohon harus kembali berdiri di hulu sungai dan di tanah yang telah lama kehilangan akarnya. Rehabilitasi tersebut diharapkan mampu memulihkan fungsi hutan sebagai penopang utama air dan udara bersih.

Masih ada harapan, selama kita berani mengaku bahwa kerusakan ini bukan semata karena faktor cuaca, melainkan hasil dari keputusan-keputusan pihak berwenang. Lalu, memulai langkah perbaikan. 

Jika hari ini kita memilih untuk berubah, mungkin kelak anak-anak Sumatera tidak perlu lagi menembus kabut asap untuk pergi ke sekolah, dan tidak perlu lagi mengungsi karena rumah mereka runtuh bersama hujan. 

Hujan tidak salah. Hujan turun untuk memberikan kehidupan. Manusialah yang mengubahnya menjadi ancaman. (*)

Kategori :