Di tengah itu semua, tubuh gajah kembali dimobilisasi. Tidak untuk diselamatkan, tetapi untuk menyelamatkan. Gajah menyingkirkan batang-batang kayu yang hanyut atau membuka jalur yang tak mampu ditembus kendaraan.
Media menyambutnya sebagai bukti ketangguhan lokal, seolah-olah itu tanda harmoni antara manusia dan satwa. Tetapi, jika dilihat lebih dekat, yang tampak jelas adalah keputusasaan.
Kali ini gajah muncul bukan karena kita menghormati mereka, melainkan karena tidak ada pilihan lain ketika sistem penanggulangan bencana tak mampu menahan skala kerusakan.
Sungguh ironi yang pahit. Makhluk yang dahulu dihormati dalam relief suci kini memikul beban dari dunia yang gagal menjaga keharmonisannya. Tubuh gajah kembali dipakai sebagai perpanjangan tangan negara, menambal celah-celah infrastruktur yang runtuh.
Kehadiran mereka dalam banjir tidak menarasikan hewan yang kuat, tetapi justru tentang negara yang ringkih.
Pertanyaan berikutnya, bukannya bagaimana gajah bisa menolong, tetapi mengapa gajah harus melakukannya? Mengapa sebuah negeri yang membanggakan pembangunan infrastukturnya justru kembali mengandalkan hewan-hewan untuk menyelamatkan warganya?
Mengapa tubuh gajah, yang habitatnya terus menyempit, masih harus membantu manusia dari kerusakan yang berasal dari proses yang sama dengan hilangnya rumah mereka?
Di titik itu, gambar gajah di tengah bencana seharusnya menjadi medium bagi kita untuk merefleksikan diri. Gambaran gajah dari masa ke masa memperlihatkan sejarah panjang yang terus berputar. Apakah itu yang kita sebut kemajuan? (*)
*) Aniendya Christianna adalah dosen desain komunikasi visual, Universitas Kristen Petra, Surabaya.