Bud Wichers, Jurnalis Perang dari Belanda, Siap-Siap Kembali Ke Ukraina

Bud Wichers, Jurnalis Perang dari Belanda, Siap-Siap Kembali Ke Ukraina

Budiman Wichers menceritakan pengalaman hidupnya di studio Sentra Digital, Rabu (11/5).-Salman Muhiddin-Harian Disway-

Wartawan Perang Belanda kelahiran Indonesia Budiman atau Bud Wichers bakal kembali ke Ukraina dalam waktu dekat. Misi pencarian orang tua kandungnya di Indonesia harus kembali tertunda. Invasi Rusia kali ini bakal lebih besar ketimbang pertengahan Maret lalu. Saat itu, Budi berhasil menembus Kiev dan Lviv selama dua setengah pekan. Ia tak mau melewatkan momentum pertempuran yang kini memanas di selatan Ukraina.

 

BUDI mengemasi semua peralatan yang harus dibawa ke medan perang ke tas ransel hitamnya. Kamera, helm, rompi anti peluru, makanan darurat, alat penjernih air minum, hingga peralatan medis sudah tertata rapi.

 

Ia tak menyangka bakal kembali ke Ukraina lebih cepat. Tidak sampai dua bulan, uang donasi sudah mulai terkumpul. Kurang sedikit lagi untuk ongkos pulang pergi ke Ukraina.  “Jika hari ini aku mendapat 500 dolar Amerika. Aku akan terbang ke Eropa,” kata Budi saat ditemui di kediamannya di Eastwood CitraLand Surabaya Rabu (11/5).

 

Untuk meliput perang di Ukraina ia membutuhkan USD 3.000. Setara Rp 43,5 juta. Ia sudah mendapat USD 2.000 dari salah satu pengusaha asal Surabaya. Jika digabungkan dengan uang tabungannya, ia masih butuh USD 500.

 

Budi adalah wartawan freelance yang tidak terikat dengan media mana pun. Modal liputan perang didapat dari mengumpulkan donasi. Itu sudah dilakukan selama 20 tahun karirnya. Tetapi, kegigihannya diapresiasi oleh Dahlan Iskan. Budi mendapatkan kartu pers khusus dari Dahlan, founder Harian Disway, tersebut. Budi pun menjadi kontributor Harian Disway.

 

Cukup sedih mendengarkan kisah Budi. Sebanyak 80 persen wartawan perang tidak mendapat bayaran yang pantas. Satu fotonya hanya laku USD 10. Tak sampai Rp 150 ribu. Padahal untuk menembus medan perang, modalnya bukan hanya uang. Nyawa juga dipertaruhkan. 

 

Siang itu, Budi kedatangan tamu dari content creator Sentra Digital Surabaya, Davi Daud. Salah satu toko kamera terlengkap di Surabaya itu tertarik dengan kisah Budi. Mereka bakal membuat film tentang perjalanan hidup Budi sebagai anak adopsi yang dibawa ke Belanda secara ilegal 40 tahun lalu. Akan ada 20 sineas muda Surabaya yang terlibat.

 

Ada 3 ribu anak bernasib sama yang kini juga mencari orang tua kandungnya di Indonesia. “Kami mau mengangkat isu itu. Targetnya ikut festival film Internasional. Kisah Budi sangat menarik karena dia juga wartawan perang,” kata Davi.

 

Jurnalis kelahiran Tanah Abang Jakarta itu diadopsi oleh pasangan Belanda: Han dan Gerrie Wichers. Sudah empat tahun ia menetap di Surabaya untuk mencari orang tua kandungnya: Mustiah dan Rusdi.

 

Pencarian terhenti di Dukuh Pinggir, Tanah Abang Jakarta. Alamat sudah ditemukan, namun sang ibu sudah pindah ke Tangerang. Tak ada informasi tambahan untuk melanjutkan pencarian itu.

 

Orang tua angkat Budi sudah menyewa orang untuk melacak orang tua kandungnya pada 1999. Salah satu informasi yang didapat adalah panti asuhan yang sempat ditinggali Budi. Dari sana dokumen-dokumen adopsi didapat. Namun, informasi yang didapat sangat minim.

 

Budi membuat keputusan yang mengagetkan orang tua angkatnya pada 2002. Ia ingin ke Palestina. Mengajar anak-anak di sana. “Mereka sempat menyangka aku sudah gila,” katanya.

 

Ia bersungguh-sungguh tetap berangkat ke Palestina. Orang tua angkatnya tidak bisa mencegah Budi. Kisahnya sebagai jurnalis perang pun dimulai. Ia tak bisa meninggalkan profesinya.

 

Budi bersyukur bisa diadopsi pasangan Belanda. Ia mendapat kesempatan hidup lebih baik ketimbang anak-anak di medan perang. Suara mereka harus didengar dunia. Karena itulah, setiap ada perang atau bencana besar seperti tsunami di Aceh, ia pasti berangkat. 

 

Semua ditempuh dengan segala risiko. Ada banyak bekas luka di tubuhnya. Sebagian giginya copot terhantam batu yang meluncur liar karena bom. Ada bekas sayatan di lehernya. Juga karena pecahan bom. Tangannya terluka karena sniper. Semua didapat dari liputan perang di Timur Tengah.

 

Bud Wichers berfoto di bekas serangan Rusia di Ukraina, akhir April.

Foto: Bud Wichers untuk Harian Disway

 

Semua kisah itu ia ceritakan di studio Sentra Digital. Davi dibantu manajer toko, Rony Santoso. Budi bercerita selama satu jam. Mulai dari cerita adopsi, pengalaman perang, hingga pertemuannya dengan sang kekasih: Ana Maria. 

 

Ana juga bernasib sama. Dia diadopsi secara ilegal, namun nasibnya lebih beruntung. Ana berhasil menemukan orang tua kandungnya di Bogor pada 1990-an. Pemain film dan atlet renang itu meninggalkan karirnya yang cemerlang untuk membantu pencarian orang tua kandung bagi 3 ribu anak-anak yang diadopsi secara ilegal.

 

Ana mendirikan yayasan Mijn Roots yang sudah mempertemukan 60 anak adopsi dengan keluarga asalnya di Indonesia. Gebrakannya sudah membuat pemerintah Belanda meminta maaf. 

 

Komite khusus Belanda merilis temuan pelanggaran serius pada prose adopsi anak-anak dari Indonesia, Bangladesh, Brasil, Kolombia, dan Sri Lanka pada 1967-1997.

 

Terjadi penculikan, perdagangan anak, pemalsuan serta pencurian dokumen, dan pemindahan anak angkat dengan alasan palsu. Pelanggaran-pelanggaran ini membuat mereka yang diadopsi kesulitan mencari orang tua kandungnya. Selama tidak ada liputan perang, Budi ikut membantu Ana di Mijn Roots. Benar-benar pasangan yang mulia. (Salman Muhiddin)



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: