Diskusi Film: Everything Everywhere All at Once (2022)
KELUARGA UNIK, dari kiri Stephanie Hsu (pemeran Joy Wang), Michelle Yeoh (Evelyn), dan Ke Huy Quan (Waymond Wang) dalam Everything Everywhere All at Once. -A24 via Entertainment Weekly -
Oleh
R. Wahyudi,
Wiraswasta,
Member Group Hobby Nonton
Everything Everywhere All at Once. Sesuai judulnya, film ini mencoba menjadi semuanya di semua tempat pada waktu yang sama. Harusnya ini ide yang sangat buruk untuk film. Namun, duet sutradara Daniel Kwan dan Daniel Scheinert meramunya menjadi film yang luar biasa.
DANIEL KWAN dan Daniel Scheinert sangat berkembang di ide-ide buruk. Seperti contohnya Swiss Army Man, yang tayang pada 2016 lalu. Itu film tentang manusia yang jadi pisau swiss. Aneh, kan? Film itu ber-genre fiksi ilmiah, komedi, drama, dan laga. Namun ia memiliki satu alur estetis yang mengikat semuanya. Yang mengingatkan kita pada estetika film-film komedi Tiongkok.
Seperti Swiss Army Man, Everything Everywhere All at Once (atau kita singkat saja dengan EEAAO) penuh dengan tropes dan estetika komedi Tionghoa. Mulai dari pemotongan adegan, penggunaan reverensi pop, tipe komedi fisik, alur cerita, hingga kostum. Bahkan tema yang diangkat khas film Tiongkok modern. Termasuk bagaimana mereka menggunkan pemain ekstra.
Itu tidak mengherankan. karena Daniel Kwan memiliki latar belakang Cantonese (Hongkong). Sehingga ia dan Scheinert bermain dengan referensi film-film Wong Kar Wai. Mereka juga mengambil inspirasi dari anime Jepang yang artistik. Seperti Satoshi Kon dan Maasaki Yuuasa. Mereka juga mengambil banyak inspirasi dari film-film fiksi ilmiah seperti The Matrix.
Itu adalah pengikat luar yang mengikat film ini. Sedangkan secara internal, EEAAO adalah film seni dan filosofis. Film yang membahas nihilitas dan kehidupan. Namun menggunakan komedi sebagai bungkus untuk menunjukkan nihilitas.
EVELYN (Michelle Yeoh, kiri) bertemu sosok dari abad lampau (Li Jing) dalam salah satu universe asing yang dia kunjungi. -A24 via Entertainment Weekly-
Salah satu inspirasi yang diambil adalah Kurt Vonnegurt. Jadi komedi hanyalah alat untuk menyampaikan filosofi yang membahas nihilisme. Itu tindakan jenius. Karena film komedi sering bermain di nihilisme. Duo Daniels juga mengambil inspirasi dari film seperti Holy Motors dan Groundhog Day sebagai inti, ruh, dan struktur dari film.
The Daniels (julukan duet sutradara itu) merupakan seniman film absurdist. Namun, kali ini mereka bergerak satu langkah lebih jauh membahas mengenai nihilisme itu sendiri. Mereka bergerak dari sesuatu alienasi sehari-hari seperti membayar pajak dan bisnis mesin cuci. Hingga ke situasi yang sangat tidak masuk akal. Seperti dunia yang akan hancur karena manusia dari dimensi lain membuat donat. Sebuah dansa nihilitas yang terangkum dalam lingkaran tanpa arti.
Akting luar biasa diperankan oleh para pemainnya. Seperti Michaelle Yeoh (memerankan Evelyn Wang) dan Key Hui Quan (Raymond Wang). Tapi yang mengejutkan adalah akting luar biasa dari Stephanie Hsu (Joy Wang). Dia memerankan putri imigran yang terjebak dalam kehidupannya dengan sangat cerdik dan lincah.
Secara umum, film ini adalah cinematic masterpiece. Secara teknis sangat luar biasa. Baik dari komposisi, tema, maupun plot. Secara unik, walau film ini pada dasarnya adalah film serius dan sangat nyeni, film ini dibalur oleh aksi dan komedi yang sangat kaya. Sehingga tidak membuat penonton bosan. Padahal pada dasarnya, ini bukan film ’’mudah’’.
Sayangnya, berada di mana pun dan kapan pun sering membuat kita bingung dan pusing. Tapi itu hanyalah isu minor. Karena itulah yang hendak dikejar Duo Daniels. Sebuah masterpiece nihilisme dan absurdisme.
Untung saja, kita tidak ditinggalkan bersama nihilisme itu. Ada sosok Evelyn Wang yang menebarkan pesan cinta kasih dengan sosok dewi Kwan Im. Dengan mata ketiga tertempel di dahinya. Benar, itu terdengar absurd. Tapi kali ini sesuai konteks.
EEAAO memberikan pengalaman yang unik. Sebuah pengalaman sinema yang mengesankan tapi, meski bukanlah film ringan. Untuk hiburan akhir pekan, banyak film lain yang tidak terlalu menguras konsentrasi dan pikiran. Tapi untuk mereka yang ingin melihat hiburan, drama kehidupan, dan penerawangan filosofis, ini film yang sangat cocok. (Retna Christa-*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: