Sempat Tutup Praktik karena Timbulkan Kerumunan

Sempat Tutup Praktik karena Timbulkan Kerumunan

Sejumlah warga berkumpul untuk melihat terapi uap yang dilakukannyi. Aksi nebul-menebul di depan ruang praktik itu menjadi tontonan warga.

”Klinik saya putuskan tutup pada Senin (2/8). Keputusan itu saya ambil karena sering sekali terjadi antrean dan kerumunan. Untungnya dijanjikan tempat baru yang lebih luas dari pihak kelurahan dan kecamatan,” ujar ibu dua anak itu.

Selang delapan hari, dr Tiwi kembali membuka tempat praktik baru yang lebih luas. Bertempat di Jalan Bukit Palem Raya, Desa Ngijo, Kecamatan Karangploso. Tempat baru itu dikhususkan bagi pengobatan pasien Covid-19 dan yang memiliki gejala Covid. Disediakan secara gratis oleh Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Bangunan tersebut awalnya dijadikan sebagai sarana pendidikan jurusan vokasi UMM. Namun, karena belum ada kegiatan belajar mengajar, pihak kampus pun diperbantukan untuk mempermudah kinerja dr Tiwi.

“Saya sangat berterima kasih pihak-pihak yang membantu saya menyediakan tempat baru," katanyi. Tiwi menyebut satu persatu, yakni tim nakes, IDI Malang, Rektor dan Wakil Rektor UMM, Kepala Desa Ngijo Mahdi Maulana, Camat Karangploso Indra Gunawan, drg Izzah El Maila, Wabup Malang Didik Gatot Subroto

Tiwi melakukan riset untuk membuat racikan obat terapi uap. Awalnya, ibunyi terkena Covid-19 dan dirawat di rumah sakit. Namun sulit sembuh dengan berbagai pengobatan yang diberikan rumah sakit.

”Saya berinisiatif memulai penelitian kecil dan akhirnya berhasil menemukan terapi uap. Menggunakan peralatan terapi yang sebelumnya dipakai pasien pengidap penyakit pernapasan,” kata lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya itu.

Hingga kini, Tiwi belum mematenkan ramuan dan metodenya itu. Dia belum memikirkan hal itu. Fokusnya masih membantu penderita Covid-19 terutama yang tidak tertampung rumah sakit. Serta membantu pasien kurang mampu.

Tiwi berasal dari keluarga biasa. Lahir dan besar di Jombang. Almarhum ayah dulunya seorang peracik tanaman obat. Ia semasa kecil sering melihat ayahnya meramu minuman. Lalu muncul ketertarikan di dunia medis. Dari situlah dia kemudian memiliki kuliah di jurusan kedokteran.

”Senang bisa melihat pasien sembuh. Dari yang datang ke klinik ”megap-megap” lalu pulang sudah dalam keadaan sembuh. Dia bisa kembali ke keluarganya. Saya berpikir, kalau dia itu jadi tulang punggung, gimana nasib istri dan anaknya andaikata meninggal karena Covid?” ujarnyi.

dr Yosephine Pratiwi

Dokter berusia 35 tahun itu sadar aktivitasnyi penuh risiko. Dia juga berpotensi menjadi carrier dan menulari dua anaknyi yang berusia 9 tahun dan 18 bulan. Pilihannya hanya satu. Disiplin protokol kesehatan.

Sebagai seorang dokter, impian terbesarnya adalah membangun sebuah rumah sakit. Difungsikan sebagai pusat pelayanan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu. ”Untuk saat ini mengalir saja. Saya ingin kalau ada pasien tidak mampu atau tidak punya apa-apa, bisa tetap terlayani. Kan bisa seperti itu kalau punya rumah sakit pribadi,” kata dr Tiwi. (Tomy C. Gutomo-Ajib Syahrian Nor)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: