Rumah Sakit Minta Harga Reagen PCR Turun

Rumah Sakit Minta Harga Reagen PCR Turun

TRI Juarsa buru-buru datang ke RS National Hospital (NH) kemarin. Warga asal Bogor itu hendak pergi ke Jakarta naik pesawat terbang. Pesawatnya berangkat pada Kamis (19/8) pagi. Namun syarat agar bisa terbang harus menyertakan hasil negatif berdasar tes usap PCR.

Arsa sapaan akrab Tri Juarsa sudah tahu bahwa harga PCR turun. Ia amat senang. Sebab dirinya tidak perlu lagi merogoh kocek yang dalam untuk bepergian dengan pesawat. ”Dulu tes PCR Rp 900 ribu. Belum tiket pesawatnya. Bisa jebol dompet saya,” kelakar laki-laki 26 tahun itu.

Meski harganya sudah turun, bagi Arsa harga itu masih cukup mahal. Ia berharap harga bisa ditekan lagi seperti di India. Atau paling tidak harga tes PCR cukup di kisaran Rp 200 ribu saja.

NH sudah menurunkan harga tes PCR. Tes usap dipatok seharga Rp 517 ribu. Sebelumnya adalah Rp 800 ribu. Sedangkan PCR dengan metode saliva (air ludah) kini seharga Rp 492 ribu. Sebelumnya masih Rp 600 ribu.

CEO National Hospital Prof Hans Wijaya mengatakan, penurunan harga itu sesuai instruksi presiden dan berdasar surat edaran yang diterbitkan oleh menteri kesehatan. Harga baru tersebut juga mulai berlaku sejak 17 Agustus 2021. 

Kata Hans, tes PCR di NH sebenarnya sama. Yakni, Rp 492 ribu. Tetapi yang metode usap lebih mahal. Sebab, pelaksanaannya harus dilakukan oleh tenaga kesehatan. ”Kalau PCR saliva kan pasien bisa melakukan sendiri. Jadi berbeda sedikit,” katanya.

NH melakukan pola subsid untuk tes PCR. Selisih biaya ditanggung rumah sakit. Sehingga, harga tes PCR tidak menyalahi aturan pemerintah.

Sampai kapan subsidi itu berlangsung? Hans masih menunggu perkembangan pasar dan aturan pemerintah.

Tes PCR harus menggunakan reagent. Dan NH menggunakan reagen dari Eropa. Mereka sudah telanjur membeli banyak reagen. Dengan harga lama pula.”Kalau motifnya bisnis, ini sangat berat. Tetapi, rumah sakit ini ingin membantu masyarakat di saat pandemi. Apa pun kami lakukan. Kami sadar betapa sulitnya masyarakat,’’ kata Hans.

Karena itu, ia minta pemerintah memperhatikan harga reagen di Indonesia. Ia khawatir bila suatu saat nanti terdapat perang harga. Sebab reagen punya tingkat sensitivitas yang berbeda. Takutnya demi mendapat keuntungan, rumah sakit lain memakai reagen yang sensitivitasnya rendah agar bisa mendapat keuntungan yang banyak.


ROBERTUS (kanan) saat dites PCR di National Hospital kemarin.
(Foto: Rizal Hanafi-Harian Disway)

Strategi subsidi silang itu juga dilakukan RSUD Sidoarjo. Atok Irawan, Direktur RSUD Sidoarjo, mengatakan bahwa pola itu sudah pernah mereka lakukan saat ada lonjakan kasus Covid-19 pada Juni-Juli.

Kata Atok, pasien positif Covid-19 akan ditanggung biaya PCR-nya oleh Kemenkes. Begitu juga obat-obatannya. Nah, dana yang diklaimkan itu bisa digunakan untuk membantu biaya reagen PCR mandiri.

Kenapa PCR mahal? Sebab, menurut Atok, bahan reagen itu susah. Di Indonesia memang sudah ada perusahaan yang membuat reagen. Tetapi, bahan bakunya masih impor. ’’Apalagi pada Juni-Juli, saat kasus Covid-19 meledak. Reagen jadi susah dicari,” ujar laki-laki 55 tahun itu.

Selain itu, Atok menduga bahwa penurunan harga itu karena reagen tidak lagi langka. Penurunan itu juga sebagai upaya pemerintah menggencarkan testing dan tracing.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: