Lima Tahun Robohnya Rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo (1)

Lima Tahun Robohnya Rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo (1)

Radio Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (RBPRI) di Jalan Mawar No. 10-12 rata dengan tanah lima tahun yang lalu. Bambang Sulistomo, putra Bung Tomo, masih belum rela kasus itu menguap tanpa kejelasan.

”Lebih baik kita hancur lebur dari pada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: Merdeka atau mati,” teriak Bung Tomo melalui radio pemberontakannya. Orasi perjuangan yang menggelegar itu berhasil membakar semangat Arek-Arek Suroboyo.

Sekutu yang mau merebut kembali kemerdekaan Indonesia bingung. Dari mana Soetomo –nama asli Bung Tomo- menyiarkan radio itu? Dicari ke mana-mana tidak ketemu.

Rupanya, wartawan yang menjadi Pemimpin Redaksi Kantor Berita Domei dan Pemred Kantor Berita Antara Surabaya itu bersembunyi di Jalan Mawar Nomor 10-20. Nama kelurahan dan kecamatannya sama: Tegalsari. Rupanya markas rahasia itu ada di jantung kota. Bukan di pinggiran seperti perkiraan Belanda.

Bangunan cagar budaya itu diberi nama Rumah Pak Amin: Markas Radio Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (RBPRI). Pemkot memasang prasasti yang terbuat dari marmer sebagai penanda bahwa rumah Pak Amin itu sangat bersejarah.

Bangunan tersebut ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya tipe B melalui SK Wali Kota Surabaya No. 188.45/004/402.1.04/1998. Zaman Wali Kota Soenarto Soemoprawiro.

Ada lima kriteria bangunan cagar budaya yang diatur Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010. Yaitu berusia minimal 50 tahun, memiliki nilai sejarah, nilai arsitektur, nilai sosial budaya, dan nilai ilmu pengetahuan. Bangunan cagar budaya tipe A minimal memiliki empat kriteria itu.

Sementara bangunan tipe B memiliki minimal tiga kriteria. Sementara tipe C cuma dua kriteria. Semua cagar budaya itu tidak boleh dirusak. Yang melanggar bisa kena dipidana. Kalau mau renovasi atau perbaikan, harus izin pemkot.

Masalahnya, PT Jayanata yang membeli tanah itu merasa sudah berkoordinasi dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Surabaya. Miss komunikasi terjadi. Pemkot kecolongan. Bangunan telanjur rata dengan tanah.

Pemerhati budaya mengangkat peristiwa itu pada 3 Mei 2016. Namun sebenarnya bangunan sudah roboh sejak April.

Banyak yang marah sampai harus menempuh jalur gugatan ke Pengadilan Negeri Surabaya. Komunitas Bambu Runcing Surabaya (KBRS) menggugat PT Jayanata sebagai pemilik proyek dan tanah tersebut. Namun, pada 2018 pengadilan memutuskan gugatan itu tidak sah dan tidak memenuhi syarat sebagai gugatan class action.

Meski begitu, pihak PT Jayanata berjanji ke eks Wali Kota Tri Rismaharini untuk mengembalikan gedung ke kondisi semula. Reruntuhan mulai dibangun lagi.

Begitu berdiri bangunan baru, para pemerhati sejarah kaget. Ternyata tidak mirip sama sekali dengan bangunan lama. Padahal sudah ada contoh denah asli rumah itu yang sempat diumumkan oleh pemkot.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: