Lima Tahun Robohnya Rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo (1)

Lima Tahun Robohnya Rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo (1)

Gara-gara janji yang meleset, bangunan masih dikelilingi pagar seng. Sebenarnya bangunan sudah bisa ditempati, namun pemiliknya belum berani membuka seng hijau itu. Keberadaan pagar seng itu menunjukkan bahwa masalah robohnya rumah radio pemberontakan itu belum tuntas. Selama janji sudah ditepati, bangunan tidak perlu ditutupi lagi.

Bambang Sulistomo menagih kejelasan dari pemkot. Ia mengirim surat untuk Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Surabaya Antiek Sugiharti pada 18 Juni.


PAGAR SENG menutupi bangunan baru di lahan bekar Cagar Biudaya Rumah Radio Bung Tomo. (Foto: Rizal Hanafi-Harian Disway)

Bambang mengatasnamakan pengurus Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional (IKPN). Rupanya, sebelum mengirim surat itu komunitas sempat menggelar aksi jalan kaki. Dari Jalan Mawar menuju Jalan Peneleh Gang Pandean IV sambil membawa Prasasti Rumah Kelahiran Bung Karno.

Bung Karno ternyata sempat diundang ke rumah radio untuk ikut berorasi. Seharusnya kehadiran Presiden RI pertama itu menambah kesakralan gedung yang sudah sirna itu. Sehingga Bambang, merasa pemkot perlu ngotot menuntut pembangunan ulang rumah radio itu. “Bung Karno diundang ke sana untuk siaran lho. Kan luar biasa hebatnya gedung itu,” jelas Bambang dari Jakarta melalui telepon, kemarin (18/8).

Bambang pernah masuk ke rumah itu. Diajak keliling oleh sang ibu: Sulistina. Saya baru tahu, ternyata nama belakang Sulistomo berasal dari gabungan Sulistina dan Soetomo.


DOKUMENTASI Bung Tomo sedang  siaran di Rumah Radio Pemberomtakan. 

Sang ibu yang wafat 31 Agustus 2016, tak lama setelah mengetahui bahwa rumah radio itu hancur.  Ibunya menceritakan kisah di setiap ruangannya. Ada ruang untuk menerima tamu, tempat istirahat, dan tentunya tempat Bung Tomo menyiarkan radio pemberontakan. “Lha kok malah dirobohkan,” ujarnya pria kelahiran 22 April 1950 tersebut.

Hancur sekali perasaan Bambang Sulistomo mengetahui tempat bersejarah yang sempat dipakai ayahnya berjuang itu sirna. Cuma tersisa reruntuhan bangunan, kayu dan peralatan bangunan yang ditinggalkan para tukang kala itu.

Bangunan di tengah kota itu pernah lolos dari bom-bom sekutu yang dilontarkan dari pesawat dan tank. Ironisnya bangunan tersebut harus hancur di tangan bangsa sendiri. (Salman Muhiddin, bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: