Korupsi 3.0

Korupsi 3.0

Oleh: Arif Afandi

SAYA selalu sedih setiap mendengar kabar operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Apalagi, yang terkena kepala daerah. Apalagi, secara pribadi kenal dengannya.

Mengapa sedih? Ya karena saya pernah menjadi kepala daerah. Meski hanya wakil wali kota. Sehingga bisa merasakan bagaimana seharusnya menjadi kepala daerah.

Juga pernah berjuang dengan banyak kawan agar pemerintahan daerah berjalan dengan baik. Melalui Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP). Yang menginginkan semua daerah bisa maju dan sejahtera.

Barangkali saya tidak bisa menjadi contoh sepenuhnya perjuangan orang menjadi kepala daerah. Mulai mencari partai politik pengusung sampai mendapatkan suara hingga menang.

Mengapa? Karena saya bisa menjadi wakil kepala daerah tanpa harus modal besar. Tanpa harus membayar mahar politik seperti pada umumnya. Tanpa harus habis-habisan mengeluarkan modal untuk menang pemilihan.

Ini soal pilihan hidup. Ini masalah prinsip hidup. Yang sejak dulu tidak pernah terpikir sedikit pun mendapatkan jabatan melalui proses transaksional. Melalui jual beli yang dinilai dengan uang. Sehingga tidak membuat beban.

Saya membayangkan beban berat sejumlah kepala daerah yang untuk meraih jabatan itu sudah berdarah-darah. Yang tak mungkin bisa ditutupi dari penghasilan yang normatif dan sah selama menjabat.

Apalagi yang harus bertarung bertingkat-tingkat. Mulai pertarungan mendapatkan tiket untuk diusung partai. Sampai dengan pertarungan memperebutkan suara pemilih.

Di kalangan politikus dikenal ungkapan seperti ini: Pertarungan tidak hanya dalam menggaet suara. Tapi, juga saat mendatangkan suara dan mengamankan suara. Setiap tahapan itu membutuhkan biaya.

Ketika ingin menggaet suara, kandidat harus berkampanye. Tidak ada yang namanya kampanye gratis. Apalagi jika kampanye tatap muka. Memasang iklan di media massa maupun media luar ruang juga berbiaya. Tidak sedikit lagi.

Ketika sudah memastikan mendapat dukungan suara hasil kampanye, kandidat masih harus menjaga dukungannya. Juga, mendatangkan suara di tempat coblosan. Sangat jamak banyak pemilih yang bersedia datang ke TPS dengan mengharap pengganti transpor atau pengganti absen bekerja.

Serangan fajar hanya salah satu bentuk bagaimana kandidat mendatangkan suara. Prinsipnya, tahap itu adalah memastikan dukungan yang didapat dari kampanye menjadi suara di tempat coblosan.

Setelah coblosan, kandidat masih harus mengamankan suara. Jangan sampai dukungan yang sudah menjadi bentuk pilihan itu hilang dalam proses penghitungan. Dari tempat coblosan sampai penetapan pemenang di KPU.

Semua proses tersebut, tak ada yang gratis. Karena itu, proses demokrasi untuk menentukan pemimpin di negeri ini memang tidak murah. Setiap proses membutuhkan biaya. Yang belum tentu total biaya tersebut bisa balik modal hanya dari jabatannya.

Ini hanya salah satu pemicu pejabat politik menyimpang dari semestinya. Apalagi jika mereka mengejar jabatan politik hanya karena ingin menambah kekayaan. Menjadikan kekuasaan sebagai proses memburu rente. Menjadikan jabatan bukan sebagai amanah. Tapi pekerjaan.

Tampaknya, membuat jera koruptor tak cukup dengan OTT KPK. Diperlukan pembenahan sistem demokrasi yang tak berbiaya tinggi. Yang memberikan ruang kepada orang baik yang tak punya uang agar bisa menjadi pemimpin politik.

Partai politik perlu mencari model lain dalam menghidupi partainya. Dulu pernah punya ide partai sepenuhnya dibiayai negara. Tapi, ide itu tak pernah terlaksana. Pasti susah karena partai di Indonesia amat banyak.

Mendidik pemilih adalah pilihan lain. Dengan terus meningkatkan pendidikan politik warga dan menjadikan partai politik betul-betul pada fungsinya. Fungsi rekrutmen kepemimpinan dan agregasi kepentingan rakyat.

Kalaupun sistem itu bisa tercipta, belum tentu juga menjamin bersih dari praktik korupsi. Masih diperlukan upaya membuat jera para pelakunya. Baik yang korupsi uang negara dengan menggarong lewat jabatannya maupun korupsi dengan terselubung.

Lha, memang ada korupsi terselebung? Menurut saya ada. Mereka yang mengeklaim apa yang diberikan kepada warganya sebagai pemberiannya. Padahal, itu program pemerintah yang dibiayai uang negara.

Mengapa? Karena kinerja itu merupakan kewajiban yang harus dijalankan. Untuk menjalankan kinerja itu, mereka memakai uang negara yang berasal dari pajak rakyat.

Hanya, korupsi terselubung itu masih bisa ditoleransi. Sebab, tidak sampai merugikan negara. Yang harus dibuat jera ialah mereka yang sengaja menggarong uang negara untuk memperkaya diri. Mengutil jatah yang seharusnya menjadi hak rakyat.

Bagi mereka itu, saya setuju dengan Prof Dr Quraish Shihab. Mereka harus dipermalukan. Sebutan koruptor masih terlalu lunak. Mengandung eufemisme. Penghalusan bahasa. Lebih baik disebut maling, garong, dan perampok.

Kalau boleh dibikin peringkat, penggarong APBN/APBD disebut korupsi 1.0, menyuap pejabat demi rente korupsi alias gratifikasi korupsi 2.0, dan memalak anak buah untuk jabatan korupsi 3.0. Sedangkan pengeklaim program sebagai pemberian pribadi, korupsi 4.0.

Korupsi 3.0 sebetulnya korupsi paling receh. Apalagi, target jual beli jabatannya adalah para kepala desa. Kasus yang juga pernah terjadi di Nganjuk. Yang melibatkan bupati muda yang sebetulnya sudah kaya raya.

Karena itu, korupsi pada dasarnya tidak ada kaitannya orang itu sudah kaya atau tidak. Ini soal integritas pribadi. Soal karakusan dan keserakahan. Karena itu, tak layak mendapatkan penghalusan penyebutan untuk mereka.

Kapan ya, semua model korupsi bisa hilang dari bumi Nusantara? Ah, kok seperti ilusi belaka. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: