Dari Luar Dituduh Teroris, Di Dalam Perang Suku

Dari Luar Dituduh Teroris, Di Dalam Perang Suku

Hidup di negara damai merupakan keinginan setiap warga negara. Itulah cita-cita Mohammad Ayub Mirdad. Warga negara Afghanistan tersebut lebih memilih tinggal di Indonesia. Perseteruan di negaranya seolah tak pernah usai.

---

RUMAH Mohammad Ayub Mirdad berada di Sidoarjo. Tidak terlalu besar. Garasi rumahnya hanya mampu memuat mobil Suzuki Katana. Namun ia tidak punya mobil itu. Sehingga garasi dipakai sebagai jemuran baju, dua unit sepeda motor, dan sebuah sepeda kayuh.

”Silakan masuk. Ini rumah mertua saya. Kebetulan kami tinggal sementara di sini,” ujar Ayub sambil membuka pagar rumah yang berwarna kuning. 

Ia mempersilakan kami duduk di teras. Di teras tersebut terdapat sebuah bangku panjang. Ada kursi kecil sebagai tempat kami duduk. Di sebelah kanan kursi ada meja. Di atasnya terdapat kipas kecil berwarna hitam. Selain itu, berbagai makanan dan minuman sudah disiapkan untuk kami.

Wajah Ayub mirip artis Bollywood Arjun Kapoor saat bobotnya masih 130 kilogram. Hidungnya mancung, bermata cokelat. Brewok menghiasi wajahnya. Ya, Ayub berasal dari suku Tajik di negara Afghanistan. 

Tangan kanan Ayub meraih tombol on kipas angin di meja itu. Kipas itu lalu diarahkan ke kami. ”Maaf ya. Saya tidak betah panas. Di Afghanistan suhunya dingin. Di sini panas sekali,” kata laki-laki kelahiran Kabul itu.

AYUB di rumah tempat ia tinggal bersama istrinya di Sidoarjo. (Foto Rizal Hanafi-Harian Disway)

Ayub merupakan lulusan Kateb University di Kabul. Ia mengambil jurusan Hubungan Internasional. Sejak kecil Ayub ingin menjadi seorang diplomat.

Sejak lama ia miris melihat kondisi negaranya yang kacau balau. Sejak 1996, Taliban menguasai Afghanistan. Semua orang yang berseberangan dengan kelompok itu, akan dihukum. 

Semua tingkah laku diatur ketat oleh kelompok itu. Mulai pakaian sampai kewajiban beribadah. ”Padahal ketika seseorang meninggal, itu urusannya dengan Tuhan. Bukan dengan Taliban,” ungkap laki-laki berumur 33 tahun itu.

Selepas lulus S-1, ia sempat bekerja untuk pemerintah. Tapi tidak lama. Ia ingin melanjutkan studinya. Dan melanjutkan mimpinya sebagai diplomat ulung.

Hingga pada 2012, ia melihat pengumuman beasiswa. Namanya, Kemitraan Negara Berkembang (KBNB). Indonesia menjadi salah satu penyelenggaranya. Tanpa pikir panjang, Ayub mendaftarkan dirinya.

Ia tak terlampau optimistis. Sebab, pendaftarnya mencapai 2 ribu orang. Padahal, kuotanya hanya 5 orang. Ayub juga tak terlalu menguasai bahasa Inggris. Apalagi bahasa Indonesia.

Ternyata, Ayub diterima di Universitas Airlangga. Juga di jurusan Hubungan Internasional. Pada 2013, ia pergi ke Indonesia untuk kali pertama.

Hari-hari Ayub di Surabaya tidak mudah. banyak hal yang harus disesuaikan. Bahkan pada bulan pertama, kulitnya sering kering. Maklum suhu Surabaya sangat panas. Ayub pun kerap alergi”Bahkan saya harus tinggal di asrama ber-AC. Dokter menyuruh saya untuk itu,” kata ayah satu orang anak tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: