Lapas

Lapas

Buku itu berkisah tentang pengalaman hidup di dalam penjara, baik yang dialami langsung oleh Wendo maupun yang dilihatnya pada teman-temannya sesama penghuni penjara. Wendo, seorang seniman, penulis, dan wartawan yang kreatif, bisa mengubah kondisi buruk menjadi cerita yang terdengar mengasyikkan.

Ada kepahitan, kegetiran, kesedihan. Namun, semua dibungkus dengan humor yang renyah khas Wendo. Menertawakan diri sendiri, menertawakan semua absurditas yang dialaminya sehari-hari. Semuanya menjadi kekuatan yang membuat Wendo bisa bertahan selama lima tahun dan tetap waras akalnya ketika bebas. Kisah-kisah yang diceritakan Wendo dalam kehidupan di penjara penuh dengan anekdot, tapi juga sarat dengan perenungan yang mendalam.

Saat diadili, Wendo menggambarkan perasaannya dengan jenaka, ”Menjadi terdakwa di pengadilan tak ubahnya seperti menjadi pengantin, diam disangka angkuh, banyak senyum dituduh tidak serius, bersikap serius disangka tegang. Bersikap santai disangka meremehkan. Persamaan lain, di situlah nasib kita ditentukan, buntung atau beruntung.”

Bagi Wendo, orang yang hidup di penjara punya kelebihan jika dibandingkan dengan orang yang bebas di luar. ”Kelebihan orang-orang di dalam penjara dibandingkan mereka yang bebas di luar adalah yang di dalam lebih mudah membayangkan apa yang terjadi di luar, sedangkan yang di luar tidak punya banyak bahan untuk membayangkan hidup di dalam.”

Mengenai menu makanan yang ”seadanya”, Wendo menulis, ”Bumbu terlezat dalam setiap masakan adalah nafsu makan dan rasa lapar.” Apa pun makanan yang disajikan akan dilahap karena kelaparan.

Soal hubungan seks di dalam penjara, Wendo mengatakan dengan pahit tapi lucu, ”Bagi waria, hidup di penjara menjadi dilema, omzet banyak tapi penghasilan tidak ada. Meskipun sangat dibutuhkan di dalam, waria tetap lebih baik hidup di luar.”

Orang-orang yang masuk penjara disebut dengan nada meledek sebagai ”masuk sekolah”. Bagi Wendo, penjara memang betul-betul sekolah yang membuatnya makin pintar dan bijaksana. Ia bisa melihat realitas sosial yang sesak dan sedih di dalam penjara, dan ia belajar banyak dari berbagai penderitaan yang dirasakan para narapidana.

Yang namanya sekolah, di mana-mana selalu mahal. Pemerintah yang katanya mau memperbaiki kondisi ”sekolah penjara” pasti selalu terbentur alasan anggaran. Menyekolahkan seseorang ke penjara jauh lebih mahal daripada menyekolahkan seseorang ke univeritas.

Itu adalah ironi yang bisa membuat tangis atau tawa. Daripada mengirim anak muda ke penjara lima tahun karena narkoba, biayanya lebih dari cukup untuk membayar beasiswa sebagai mahasiswa sampai lulus.

Studi itu dilakukan di Amerika Serikat (AS), dan sudah terbukti bahwa biaya tiap orang dalam penjara jauh lebih mahal daripada biaya untuk memberikan beasiswa kepada seorang mahasiswa. Karena itu, di AS ada ungkapan ”It’s cheaper to send a kid to Yale than send a kid to jail” (Lebih murah biaya mengirim seorang anak ke Univeritas Yale daripada biaya anak di penjara). Yale adalah salah satu universitas paling top di AS.

Message-nya, daripada menghabiskan uang untuk membangun penjara, lebih baik membangun sistem pendidikan yang bagus dan murah yang bisa dijangkau semua warga negara. Kalau anak-anak lebih terdidik, angka kriminalitas akan turun.

Bagi pemerintah, terutama Menteri Yasonna Laloy, dengarkan nasihat Wendo, ”Jangan pernah menasihati napi supaya sabar, tetap tabah, kuatkan hati, dan kata-kata hiburan sejenis itu. Mereka telah memiliki lebih banyak dari yang seharunya.”

Satu lagi nasihat Wendo yang makjleb. ”Tidak semua yang ada dalam penjara adalah napi, dan tidak semua napi ada di dalam penjara”. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: