Lapas

Lapas

Apalagi penjara Tangerang.

Masuk gemuk pulang tinggal tulang...’’

PENGGALAN bait lagu Hidup di Bui itu populer pada era 1980-an. Dinyanyikan grup band D’Lloyd, lagu tersebut bercerita mengenai kondisi buruk di penjara, khususnya di penjara Tangerang. Saking buruknya kondisi penjara, sampai digambarkan narapidana menjadi kurus kering tinggal tulang ketika keluar dari penjara.

Kondisi Lapas Tangerang sekarang mungkin tidak seburuk yang digambarkan D’Lloyd. Mungkin tidak ada narapidana yang keluar dari penjara Tangerang tinggal tulang. Namun, tragedi kebakaran Lapas Tangerang –yang mengakibatkan 44 orang narapidana tewas terpanggang– mengungkit kembali memori buruk yang digambarkan lagu Hidup di Bui.

Hidup di bui bagaikan burung, Bangun pagi makan nasi jagung, Tidur di ubin pikiran bingung, apa daya badanku terkurung. Terompet pagi kita harus bangun, makan diantri nasinya jagung, tidur di ubin pikiran bingung, apa daya badanku terkurung.’’

Oh kawan, dengar lagu ini, hidup di bui menyiksa diri, jangan sampai kau mengalami, badan hidup terasa mati. Apalagi penjara Tangerang, masuk gemuk pulang tinggal tulang, karena kerja secara paksa, tua muda turun ke sawah.”

Itu adalah versi asli lagu yang diciptakan almarhum Bartje van Houten. Rezim Orde Baru marah oleh lirik lagu tersebut dan melarang peredarannya. Pencekalan dicabut setelah D’Lloyd merevisi bagian akhir bait lagu itu. ”Penjara Tangerang” diganti dengan ”Penjara zaman Jepang”. Namun, versi asli lagu itu masih sering beredar diam-diam dalam bentuk kaset.

Kondisi buruk di penjara sudah menjadi rahasia umum. Kebakaran Lapas Tangerang menjadi kulminasi buruknya kondisi itu. Sebuah penjara yang semestinya hanya berkapasitas 600 orang harus disesaki lebih dari 2.000 narapidana. Dengan kelebihan penghuni sampai 400 persen, tentu bisa dibayangkan bagaimana buruknya kondisi lapas itu.

Penjara Tangerang masuk kategori kelas 1, tidak termasuk kategori penjara yang berskala besar. Luasnya tidak sampai ribuan hektare. Letaknya di tengah kota, dekat dengan fasilitas pemadam kebakaran. Kalau manajemen tanggap terhadap bencana, seharunya tragedi itu tidak terjadi. Kedatangan pasukan pemadam kebakaran bisa lebih cepat, persiapan hidran air bisa lebih baik, dan para sipir jaga bisa lebih sigap mengatasi keadaan darurat.

Kebakaran terjadi dini hari (8/9). Petugas terlihat tidak siap menghadapi situasi darurat. Api sudah telanjur membesar di blok C, yang ditinggali para narapidana narkoba. Ratusan orang terkunci di dalam. Petugas pun panik dan tidak bisa lagi membuka pintu sel. Tinggallah para narapidana itu meregang nyawa terpanggang hidup-hidup.

Menteri hukum dan HAM Yasonna Laoly dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kelalaian yang memilukan dan memalukan itu. Suara publik sangat keras menuntut Yasonna mundur dari jabatannya. Beberapa politikus menyuarakan tuntutan serupa, Yasonna harus mundur untuk mempertanggungjawabkan tragedi fatal tersebut.

Tragedi itu sungguh tidak tertanggungkan oleh sanak keluarga korban. Seorang ibu menangis sampai pingsan karena anaknya menjadi korban meninggal. Padahal, sebulan lagi sang anak seharusnya menghirup udara kebebasan. Yang terjadi kemudian sang anak mati gosong menghirup asap api kebakaran.

Sebuah penjara, yang kapasitasnya melebihi kemampuan sampai empat kali lipat, tentu tidak bisa menjamin keamanan dan kenyamanan. Kondisi buruk itu sudah menjadi rahasia umum. Bait lagu D’Lloyd yang jadul itu menjadi gambaran yang sampai sekarang masih relevan.

Seniman Arswendo Atmowiloto menceritakan kondisi penjara dalam buku memoarnya, Menghitung Hari: Hikmah Kebijaksanaan dalam Rumah Tahanan/Lembaga Permasyarakatan (1994). Wendo pada 1990 dihukum lima tahun karena kasus penistaan agama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: