Membawa Musik Menyelami Jiwa Lukisan

Membawa Musik Menyelami Jiwa Lukisan

Tak heran bila lukisan-lukisannya tercipta dalam ukuran lebih dari satu meter. Ada maksud Agus. Ia ingin menunjukkan kepada publik -utamanya penikmat dan perupa- bahwa karya cat air dapat diarahkan ke mana saja. Baik dari segi ukuran maupun gaya.

Cat air bisa dibawa ke ranah kontemporer atau abstrak. Ukurannya tidak melulu standar. ”Kadang-kadang perupa cat air terjebak oleh standarisasi ukuran-ukuran. Belum lagi patokan gaya-gaya tertentu. Tapi saya berusaha keluar dari semua itu. Saya membuat free zone,” ujarnya.

Sayang, dalam pandangannya, lukisan cat air malah termaginalkan oleh para perupanya sendiri. Pertama, watercolorist masih terpaut dengan standar ukuran dan sebagainya. Kedua, banyak yang meragukan daya tahan lukisan cat air.

Padahal karya sketsa Rembrandt yang telah berusia ratusan tahun. Dari dekade ’1600an. Toh tak tersanggahkan bahwa karya itu masih awet. Bahkan lebih awet dibandingkn dengan kanvas.

Sogno #2

”Contoh nyata lainnya adalah teks proklamasi dan bendera pusaka. Masih utuh kan sampai sekarang. Sedangkan bendera pusaka sudah dibuat ulang sebanyak tiga kali. Artinya, lebih bagus daya tahan kertas dibanding kain,” ujarnya.

Kertas memiliki tingkat keasaman rendah. Bahkan kualitas yang bagus seperti archies atau frabiabo, keasamannya 0 persen. Berbeda dengan kain yang digunakan pada kanvas. Tingkat keasamannya masih mencapai 8 persen.

”Coba letakkan kertas dan kanvas di lingkungan yang terpapar sinar matahari. Kanvasnya yang kalah. Pudar warnanya,” ungkap pengelola Agus Budiyanto Aquarelle di Lebak Bulus, Jakarta tersebut.

Dari pemahamannya tentang water color, pria yang sekian tahun bekerja sebagai desainer grafis itu lantas berani memutuskan untuk secara murni hidup dan bekerja dari lukisan. Itulah mengapa soal kualitas, ia benar-benar pemilih. Paling tidak dengan cat air Daniel Smith.

”Kualitas dan hasilnya sangat baik. Kertasnya saya hanya cocok menggunakan archies dari Perancis atau fabriano dari Italia,” ungkap brand ambassador Daniel Smith dan termasuk sebagai orang Asia pertama yang menggunakan cat air dari Amerika Serikat itu.

Dalam melukis, ada ritual Agus yang privat. Ia ternyata selalu mendengarkan musik dulu. Musik yang didengarkan bahkan ia sesuaikan dengan konsep yang akan ia lukis. Bila ia ingin membuat lukisan yang dinamis, musiknya harus energik.

Jika ingin membuat tema yang ngelangut, ia mendengar musik bernuansa meditatif. ”Tapi secara umum saya menikmati musik-musik new age atau kontemporer. Musik sangat berhubungan dengan olah rasa dalam abstrak,” ujarnya.

Sebab abstrak adalah persoalan rasa yang lepas dari logika. Dalam diri manusia, alam rasa lebih dominan. Untuk meningkatkannya, manusia butuh musik sebagai asupan rohani. ”Dengan musik, rasa itu jadi lebih mudah ketika dijiwai dalam lukisan,” lanjutnya.

Rhapsody in Red Jasper

Seperti dalam karya Agus berjudul Sogno #2, Threesome #5 atau Rhapsody in Red Jasper. Karya tersebut memuat kesan rasa ngelangut. Diibaratkannya seperti jenis irama keseharian yang tak terduga.

Seperti musik tetes hujan. Atau bunyi kicau pipit setelah hujan reda. Denting sendok yang mengaduk-aduk gula di dalam secangkir teh. ”Suara alam itu musik indah tak terkira. Rasa yang terdengar. Seperti itu pula cara saya menuangkan abstrak,” ujarnya. (Guruh Dimas)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: