Harga Bahan-Bahan Pokok Anjlok

Harga Bahan-Bahan Pokok Anjlok

JAWA TIMUR mengalami deflasi sebesar 0,11 persen. Yakni pada periode year-on-year (y-o-y) September 2021. Terdapat 10 komoditas yang menyumbang deflasi. Terbesar adalah komoditas telur ayam ras. Persentase perubahan harganya turun hingga 14,15 persen.

Menyusul penurunan harga pada komoditas lain seperti; cabai rawit turun 33,79 persen, bawang merah turun 12,32 persen, tomat turun 11,88 persen, ikan mujaer turun 7,19 persen, tempe turun 2,48 persen, cabai merah turun 12,74 persen, tongkol turun 3,97 persen, bawang putih turun 3,52 persen, dan tahu mentah turun 1,52 persen. Seluruh harga komoditas bahan-bahan pokok itu anjlok.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim Dadang Hardiwan mengatakan, Kabupaten Banyuwangi mengalami deflasi tertinggi di Jatim. Angkanya mencapai 0,16 persen. Sedangkan, deflasi terendah adalah Kota Malang, yakni hanya 0,02 persen.

“Harga bahan-bahan pokok makanan turun karena daya beli masyarakat juga turun,” ujar Dadang pada konferensi pers virtual, kemarin (1/10). Misalnya, harga telur ayam ras yang terus menurun tajam beberapa bulan belakangan. Dan pasokan telur dari peternak masih sangat melimpah. Kasus serupa juga terjadi pada bahan-bahan pokok lainnya.

Lalu, kenapa daya beli masyarakat turun?

PEDAGANG cabai menggelar dagangannya di Pasar Keputran, Surabaya. (Foto Eko Suswantoro-Harian Disway)

 

Ketua Komite Pengembangan Kawasan Kamar Dagang Industri Jatim Fitrajaya Purnama menjelaskan, penyebab turunnya konsumsi tersebut adalah pandemi. Sebab, masyarakat terpaksa harus mengatur pengeluaran secara lebih efisien. Sementara, konsumen tertinggi dari seluruh komoditas tadi itu adalah restoran dan hotel.

Nah, kata Fitra, masyarakat cenderung mengonsumsi di rumah tangga. Jarang membeli makanan di restoran maupun hotel. Apalagi, tiga bulan belakangan terjadi pembatasan kegiatan masyarakat. “Semua komoditas yang disebut tadi itu kan konsumsi sehari-hari kita. Kita jarang makan di luar. Lebih sering konsumsi rumah tangga,” jelasnya.

Akhirnya, konsumsi restoran dan hotel turun drastis. Namun, sebetulnya struktur konsumsi yang berubah adalah makanan bentuk jadi. Kalau tadinya ke restoran dan hotel, kini beralih ke kitchen yang menjual langsung ke konsumen. “Dan jumlah kitchen ini masih lebih kecil dari jumlah restoran dan hotel yang ada. Jadi tidak terlalu berefek,” kata Fitra.

Ia berharap agar deflasi yang terjadi saat ini tidak dimaknai secara negatif. Pandemi memang mengajari masyarakat supaya melakukan efisiensi. Konsumsi rumah tangga jelas jauh lebih efisien ketimbang restoran dan hotel. Apalagi, konsumsi restoran dan hotel cenderung menghasilkan banyak limbah.

“Saya baca kecenderungan yang terjadi seperti itu. Tapi, mungkin bisa dilakukan riset lebih lanjut. Nah, ini biarlah terjadi sampai benar-benar kondisi stabil di era new normal seperti saat ini,” pintanya. (Mohamad Nur Khotib)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: